TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan bahwa Presiden Joko Widodo marah karena namanya dicatut mendukung Setya Novanto untuk maju menjadi Ketua Umum Partai Golkar.
"Presiden sangat marah akibat dikatakan mendukung salah satu calon Ketua Umum Golkar. Jadi, itu sama sekali tidak benar," kata Kalla di kantor Perum Bulog, Jakarta, Selasa, 10 Mei 2016.
Menurut Kalla, Presiden Jokowi mengungkapkan kemarahan saat bertemu empat mata dengannya pada Senin kemarin. Dalam pertemuan yang berlangsung cukup lama itu, kata Kalla, Jokowi memberi pesan tidak berpihak atau mengunggulkan siapa pun dalam Munaslub Golkar. "Presiden minta disiarkan bahwa ia sama sekali tidak berpihak," kata Kalla.
SIMAK: Ke Istana, Ahok dan Risma Duduk Bersebelahan
Sebelumnya, sempat beredar pesan WhatsApp yang menyebutkan bahwa Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan bahwa Jokowi mendukung pencalonan Setya Novanto sebagai Ketua Umum Golkar dalam Munaslub yang akan digelar pada 15-17 Mei mendatang di Nusa Dua, Bali. Belakangan, Luhut membantah pesan itu berasal darinya.
Menurut Kalla, jika Luhut mendukung Setya, hal itu adalah hak pribadinya selama tidak membawa nama Presiden. Dia menegaskan pemerintah bersikap netral. "Saya minta kepada pejabat, siapa saja, apalagi di daerah, jangan mengembalikan posisi sama seperti Orde Baru, pejabat-pejabat itu perintah-perintah," kata Kalla.
SIMAK: Pengurus Golkar Kumpul di Jakarta, Dukung Setya Novanto?
Kalla mengatakan tidak mungkin Jokowi memberi dukungan dalam pencalonan perebutan posisi Ketua Umum Golkar. Sebab, Jokowi bukan anggota Golkar. Selain itu, Jokowi tidak ingin mengembalikan lagi cara Orde Baru dalam mendukung seseorang untuk menduduki posisi ketua umum partai, apalagi dengan cara memerintahkan aparat.
Selain itu, Kalla menegaskan bahwa Presiden tidak mungkin mendukung seseorang yang pernah mencederai Presiden dan Wakil Presiden. "Masak, saya dan Presiden mendukung seperti itu," kata Kalla. Sebelumnya, Setya Novanto pernah terlibat kasus pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden untuk meminta saham PT Freeport Indonesia.
AMIRULLAH