TEMPO.CO, Sleman - Labuhan gunung adalah tradisi dan budaya Keraton Yogyakarta. Labuhan Gunung Merapi diadakan setiap bulan Rajab sebagai tanda syukur. “Kami melaksanakan labuhan, yang merupakan adat budaya Keraton Ngayogyakarta,” kata Mas Kliwon Suraksohargo, juru kunci Gunung Merapi, selepas seserahan pernik sesaji labuhan, di Kinahrejo, Umbulharjo, Cangkringan, Sleman, kemarin. Selain itu, ini merupakan pengingat akan pentingnya mewaspadai erupsi yang bisa sewaktu-waktu muncul.
Bagi para pengelola wisata, peristiwa ini menjadi salah satu agenda andalan. Perayaan tersebut menarik banyak wisatawan lokal dan mancanegara.
“Labuhan Merapi ini agenda rutin. Bisa menjadi salah satu daya tarik wisatawan,” kata Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sleman A.A. Ayu Laksmi Dewi.
Acara puncak akan digelar hari ini, dimulai dari petilasan rumah almarhum Mbah Maridjan menuju pos satu bukit Srimanganti. Jaraknya sekitar 1,5 kilometer. Para abdi dalem keraton, warga, dan wisatawan akan naik ke gunung mengikuti arak-arakan.
Para abdi dalem keraton mempersiapkan diri sekitar pukul 05.00. Mereka berangkat dari Kinahrejo sekitar pukul 06.00. Pada malam sebelumnya, digelar wayang kulit semalam suntuk di Pendopo Kinahrejo, di depan petilasan rumah Mbah Maridjan. Asih, nama asli juru kunci itu, yang juga anak Mbah Marijan, mengatakan masyarakat harus tetap tanggap bencana. “Tidak boleh lalai sebagai warga di dekat gunung api.”
Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kencana Geologi Yogyakarta I Made Agung Nandaka mengatakan aktivitas apa pun di Merapi harus memperhatikan keamanan. Ada bahaya erupsi, banjir lahar hujan, dan bahaya lain, yang sewaktu-waktu bisa muncul. Selepas erupsi 2010 yang eksplosif, dalam enam tahun terakhir ini belum ada tanda-tanda akan terjadi erupsi lagi. “Warga di sekitar gunung tetap harus waspada. Selamat adalah kunci utamanya.”
MUH SYAIFULLAH
Baca juga:
Inilah 5 Hal yang Amat Mengerikan di Balik Tragedi Yuyun dan Feby
Gadis Cantik Tewas Disambar Kereta, Selfie Maut Tetap Marak