TEMPO.CO, Jakarta - Niat hati melepas penat dengan menikmati liburan, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Tulus Abadi dibuat dongkol dengan adanya pungutan liar di beberapa lokasi pantai di Banten.
Tulus dan keluarganya menyusuri Pantai Anyer selepas salat subuh pada Jumat pagi kemarin. Ia melewati beberapa pantai ternama di sepanjang Anyer, seperti Pantai Sambolo, Pantai Pasir Putih, dan Pantai Karang Bolong. Kemudian, ia berhenti di Pantai Matahari Carita yang berlokasi di Pandeglang.
Menurut Tulus, tak ada yang istimewa di pantai tersebut. Fasilitas di sana, kata dia, tidak cukup memadai, dan pantainya pun tidak bisa dipakai untuk anak-anak bermain. Ia mengatakan pantai masih relatif sepi, dan hanya ada beberapa segelintir pengunjung dengan mobilnya.
Tulus mulai merapatkan mobilnya ke area parkir, kemudian ada dua pemuda mendekatinya dan menyodorkan tiket dengan tarif Rp 100 ribu. Saat itu, rombongan keluarga Tulus membawa tiga mobil, sehingga ia dikenakan Rp 300 ribu. "Wow, tentu saya meradang dan menolaknya," kata Tulus dalam keterangan tertulisnya, Sabtu, 7 Mei 2016.
Tulus melanjutkan, pemuda itu memberikan potongan harga Rp 100 ribu. Ia dan keluarganya tetap menolak dan akhirnya tidak jadi menikmati Pantai Matahari Carita. "Saya tinggalkan pantai itu dengan perasaan dongkol. Pungli!" ucapnya.
Jarak lima kilometer, ada Pantai Jambu yang letaknya di pertigaan Jambu. Lagi-lagi, Tulus mendapati pantai itu tak memiliki fasilitas apa pun, selain hanya beberapa saung sederhana berdiri di bibir pantai.
Seusai memarkir mobilnya, ada seorang pria menyobek tiga lembar kertas. "Per mobil Rp 50 ribu Pak, jadi tiga mobil Rp 150 ribu," kata Tulus menirukan ucapan pria itu.
Meski tarifnya lebih rendah dibandingkan sebelumnya, Tulus tetap tidak terima dan menganggap orang itu melakukan pungli.
Ia pun mengajak keluarganya ke Pantai Karang Bolong. Mendengar hal itu, tukang parkir pantai itu menyaut bahwa di Pantai Karang Bolong lebih mahal karena dikenakan tarif Rp 15 ribu per kepala. Itu pun, katanya, belum termasuk tarif parkir.
"Oh, ini ironi namanya. Apa gunanya tertulis ‘Pantai Umum’, tetapi untuk memasuki area pantai itu dikenakan tarif yang (relatif) mahal," ujarnya.
Tulus menuturkan, bila uang tersebut masuk sebagai setoran pendapatan asli daerah (PAD), ia bisa maklum bahkan setuju.
"Lah kalau untuk preman, atawa oknum pemerintah yang berkomplot dengan preman? Bagaimana dengan rakyat kecil yang tak punya fulus, pupuslah untuk memasuki area pantai."
FRISKI RIANA