TEMPO.CO, Jakarta - Melati Ginting duduk termenung di ruang tamu rumahnya. Pandangan mata perempuan 52 tahun itu kosong. Sesekali ia mengusap air mata yang menetes ke pipinya. “Saya lagi bersedih,” ucap ibu beranak lima itu saat ditemui Tempo di rumahnya, Perumahan Taman Narogong Indah, Rawalumbu, Kota Bekasi, pada, Rabu, 4 Mei 2016.
Melati terus kepikiran anaknya, Kapten Ariyanto Misnan. Pemuda 23 tahun itu kini sedang disandera kelompok militan Abu Sayyaf di Filipina. Kapal tug boat Henry yang dikendalikan Kapten Ariyanto dibajak di perairan antara Filipina dan Malaysia pada 15 April 2016. “Saya enggak tahu kondisi Ari sekarang,” ujar Melati.
Kabar gembira sempat tersiar pada awal bulan ini. Sebab, para tawanan kelompok Abu Sayyaf telah dibebaskan. Namun kabar itu sirna manakala yang dibebaskan merupakan sepuluh anak buah kapal TB Brahma 12, sedangkan empat ABK TB Henry belum dibebaskan. “Pemerintah tidak adil, pilih kasih,” tutur Melati.
Seharusnya, kata dia, pemerintah membebaskan semua sandera, termasuk anaknya. Karena itu, Melati mendesak pemerintah segera membebaskan anak ketiga dari lima bersaudara tersebut. Menurut dia, 15 hari lebih merupakan waktu yang cukup lama menunggu kepulangan Ariyanto. “Sampai kapan kami harus menunggu dan bersabar?” ucap Melati.
Melati mengaku sejauh ini mencari informasi perkembangan pembebasan sandera melalui media televisi, online, dan media cetak. Setiap jam bila ada tayangan berita, janda yang ditinggal mati suaminya ini tak mau beranjak dari depan layar kaca televisi. Sebabnya, tak ada informasi tentang anaknya secara langsung, baik dari perusahaan tempat anaknya bekerja, PT Global Trans Energy International, di Jakarta maupun pemerintah. “Perusahaan dua kali datang, meminta kami bersabar karena sedang diurus,” ujarnya.
Melati menuturkan sempat melarang anaknya berlayar ke Filipina setelah ada penyanderaan oleh kelompok militan Abu Sayyaf terhadap sepuluh ABK TB Brahma pada 26 Maret lalu. Namun anaknya bersikukuh berlayar ke Filipina karena ada tugas dari perusahaan. "Dia izin ke Filipina, saya melarang, karena khawatir ada pembajakan," kata Melati.
Ariyanto terus meyakinkan keluarga bahwa berlayar ke Filipina mendapatkan pengawalan dari otoritas keamanan. Ariyanto pun pergi berlayar bersama sembilan anak buahnya pada awal April 2016. Kekhawatiran itu pun terjawab. Pengawalan hanya dilakukan saat berangkat dari Tarakan menuju Filipina. Sedangkan kepulangannya tidak dikawal.
Kapal yang dinakhodai anaknya tersebut mendadak dibajak kelompok militan di perairan perbatasan antara Malaysia dan Filipina. Artinya, ucap dia, perairan tersebut belum aman. Karena itu, keluarga menyayangkan pengawalan kapal yang dilakukan setengah-setengah. "Kami harap pemerintah segera membebaskan anak saya dan para sandera lain," ujar Melati.
Sebabnya, keluarga khawatir dengan kondisi Ariyanto saat ini. Sebab, para penyandera yang diduga merupakan kelompok militan Abu Sayyaf itu juga meminta tebusan Rp 14,5 miliar. Ia khawatir, apabila tebusan tak dipenuhi, nyawa para sandera menjadi gantinya. "Kami ingin Ariyanto pulang dalam kondisi selamat," tutur kakak kandung Ariyanto, Moch. Injdra Purwanto.
ADI WARSONO