TEMPO.CO, Yogyakarta - Maju menjadi calon Wali Kota Yogyakarta, bagi Garin Nugroho sebenarnya adalah meneruskan kerja-kerja kesenian dan kebudayaan yang selama ini telah ia kerjakan. Garin mengaku sudah lama terjun ke dunia politik, yakni berpolitik untuk meningkatkan kesadaran dan pendidikan warga negara. Kini ia menemukan jalan untuk merealisasikan cita-citanya secara langsung memberdayakan masyarakat. Garin menemukan jalan melalui Jogja Independet yang menginisiasi konvensi calon indepenen. Berikut wawancara Tempo dengan Garin yang juga menjabat Presiden Jogja Asia Film Festival di rumahnya di Jalan Jayeng Prawiran Yogyakarta Kamis pekan lalu.
Apa pertimbangan Anda mencalonkan diri jadi wali kota?
Ini merupakan bagian pendidikan warga negara. Saya sudah melewati proses panjang untuk terjun ke politik. Saya sudah lama terlibat dalam gerakan pendidikan warga negara, menjadi koordinator utama untuk sejumlah NGO untuk pendidikan warga negara setelah Presiden Soeharto lengser dan sebelum ada KPU (Komisi Pemilihan Umum) ada. Dan selama empat tahun memegang peran itu, saya dianggap paling berhasil oleh lembaga USAID, di tengah-tengah krisis yang melanda Indonesia saat itu.
Mengapa Anda memilih ikut konvensi calon independen?
Calon independen yang digerakan oleh Jogja Independent ini berbeda. Seperti kata Pak Busyro Muqoddas independennya orisinal. Karena melalui banyak tahapan. Mulai dari pendaftaran terbuka, proses penyaringan, dan ujian dari para ahli dan juga dari warga Yogya sendiri.
Anda tak punya pengalaman di bidang pemerintahan, bagaimana meyakinkan warga bahwa anda pantas dipilih menjadi walikota?
Kalau Anda pernah bekerja di institusi publik, seperti saya pernah menjadi koordinator NGO, maka anda sebenarnya sudah mengerjakan sebagian bidang pemerintahan. Dan yang saya lakukan saat menjadi koordinator itu membawahi lingkup nasional, dengan total 30 NGO. Dan itu dinilai yang terbaik.
Saya telah menginisiasi banyak gerakan untuk berbagai regulasi. Seperti Undang-Undang Penyiaran, Hak Informasi, juga undang-undang tentang organisasi hak informasu seperti KPI (Komisi Penyiaran Indonesia). Saya juga sudah menginisiasi sejumlah gerakan seni kebudayaan. Terjun ke politik ini sebenarnya sudah saya jadwalkan dan sejak saya menjadi koordinator NGO-NGO dulu.
Jadi bukan karena ikut-ikutan atau tidak ada tawaran kontrak untuk menggarap film?
Justru setelah ini saya banyak menerima tawaran kontrak. Untuk film 'Aku Jatuh Cinta', produsernya sudah ngejar-ngejar. Sekarang malah sedang banyak-banyaknya kontrak. Film-film saya seperti 'Setan Jawa', dan 'Nyai', sudah ada jadwal bergerak untuk tiga tahun ke depan. Jadi itu semua sudah selesai. Film-film itu sudah berjalan dan bekerja sendiri.
Aksi sweeping oleh kelompok tertentu makin sering terjadi di Yogya?
Saya tumbuh pada lingkungan yang patuh pada penegakan hukum dan undang-undang. Yang berhak mensweeping suatu kegiatan bukan ormas, tapi polisi. Kalau saya jadi walikota, saya tegaskan, organisasi masyarakat jadilah selayaknya organisasi masyarakat. Tidak berperan sebagai lembaga polisional. Orang boleh protes dan kritik suatu kegiatan diskusi atau film, tapi ada ruangnya sendiri. Bisa mengadukan ke DPRD. Saya bertekad membangun Yogya benar-benar sebagai miniatur kebhinekaan Indonesia. Yogya harus menjadi ujung tombak toleransi dan ruang tumbuh kebhinekaan itu.
Apa target Anda jika terpilih jadi Wali Kota?
Jika saya dipercaya masyarakat, saya akan melakukan proses pendidikan sebagai warga negara itu dengan baik. Saya bertekad akan semakin membesarkan industri kreatif yang tumbuh di Kota Yogya. Kota ini merupakan pusat industri kreatif terbesar. Saya akan memperdalam dan memperkaya industri kreatif di kota ini.
PRIBADI WICAKSONO