TEMPO.CO, Jakarta - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mendaftarkan permohonan sengketa informasi terhadap laporan penyelidikan Tim Pencari Fakta (TPF) kasus tewasnya pegiat hak asasi manusia, Munir Said Thalib. Istri Munir, Suciwati, ikut mendaftarkan permohonan sengketa informasi tersebut.
“Siang ini kami daftarkan ke Komisi Informasi pusat,” kata Staf Divisi Pembelaan Hak Sipil dan Politik KontraS Satrio Wirataru saat dihubungi, Kamis, 28 April 2016.
Menurut Satrio, permohonan sengketa informasi diajukan untuk mendesak Presiden Joko Widodo membuka laporan tersebut. Sebab, meski sudah 11 tahun hasil penyelidikan TPF diserahkan ke Presiden, isinya tak pernah diumumkan kepada masyarakat. “Dokumen hasil penyelidikan bisa digunakan untuk membuka kembali kasus Munir,” kata Satrio.
Munir dibunuh menggunakan racun arsenik saat menuju Belanda. Hasil penyelidikan menjadikan Pollycarpus, pilot pesawat Garuda, dan anggota Badan Intelijen Negara, serta bekas Komandan Kopassus TNI AD Muchdi Purwoprandjono sebagai pelaku. Pollycarpus dihukum 14 tahun penjara. Namun ia dibebaskan bersyarat setelah 8 tahun ditahan. Adapun Muchdi, yang saat itu juga salah seorang Deputi BIN, dibebaskan karena saksi kunci, Budi Santono, mencabut keterangannya.
Satrio menilai persidangan kasus Munir hanya menyentuh pelaku lapangan. Pollycarpus dan Muchdi dinilai tidak memiliki motif dan kekuasaan untuk membunuh Munir. Metode pembunuhan Munir, kata dia, begitu sistematis sehingga tidak mungkin dilakukan mereka berdua. “Pasti ada pelaku lain yang memiliki posisi lebih strategis supaya pembunuhan sulit diungkap."
Petunjuk kepada dalang pembunuhan, kata Satrio, ada di dalam dokumen hasil penyelidikan TPF. Satrio menuturkan upaya membuka dokumen tersebut sudah sejak lama dilakukan. Ketika Komisi Informasi belum ada, mereka telah mendesak pemerintah melalui audiensi serta kampanye. Pertemuan dengan pemerintah pun pernah digelar.
KontraS, menurut Satrio, juga pernah mengirim surat permohonan kepada pemerintah agar dokumen TPF dibuka ke publik. Namun balasan yang diterima dari Sekretariat Negara dianggap tidak logis. “Mereka mengatakan tidak memiliki dokumen tersebut,” katanya.
Padahal, ucap Satrio, dokumen itu telah secara resmi diserahkan kepada Presiden pada 2005. Penyerahan disaksikan oleh Sekretaris Negara. Setelah mengirimkan surat keberatan atas jawaban Sekretariat Negara, lagi-lagi KontraS menerima surat balasan yang isinya sama. “Akhirnya kami putuskan untuk mendaftarkannya sekarang ke Komisi Informasi,” katanya.
Menurut Satrio, butuh proses lebih dari enam bulan hingga permohonan sengketa informasi dikabulkan. Komisi Informasi akan memanggil pihak pemohon dan termohon untuk bertemu. Ada proses mediasi dan sidang yang harus dilalui.
VINDRY FLORENTIN