TEMPO.CO, Malang - Terpidana kasus bom Bali pertama, Ali Imron, meminta polisi tidak memandang sebelah mata kekuatan kelompok teroris. Sebab, mereka punya kemampuan mempengaruhi pikiran seseorang. "Dua jam saja berinteraksi (dengan teroris) sudah cukup mengubah pola pikir seseorang," ujarnya dalam seminar bertema Menangkal Radikalisme, Terorisme, dan ISIS, di Malang, Senin, 25 April 2016.
Menurut dia, teroris tidak memiliki ciri khusus. Karena itu keliru bila selama ini teroris sering digambarkan dengan bercelana cingkrang dan berjenggot. Teroris, kata Ali, bisa melakukan kamuflase dengan berbagai cara.
Terpidana bom Bali lainnya, Umar Patek, menuturkan proses radikalisme mulai terjadi di perguruan tinggi dan lembaga pendidikan. Mereka menyusupkan dalil-dalil dalam pengajian dengan cara membelokkan perintah jihad. "Mereka mudah mempengaruhi melalui dalil agama," katanya.
Selain itu, kata Unar, media sosial serta Internet efektif menyebarkan radikalisme tanpa bertatap muka. Cara ini juga dilakukan teroris untuk merekrut pengantin alias pelaku bom bunuh diri.
Direktur Wahid Institut Zannuba Ariffah Chafsoh Rahman alias Yenny Wahid berpendapat pengaruh gambar dan tulisan di media sosial menyebar cepat. Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), kata dia, sengaja melakukan propaganda melalui media sosial. "Ada fenomena remaja yang tertarik turut berperang di Suriah karena pengaruh sosial media," katanya.
Menurut dia, ISIS menawarkan heroisme dengan memanggul senjata untuk membela agama. Jika selama ini mereka hanya menggunakan senjata saat bermain games, sekarang bisa membawa senjata asli di medan perang. "Anak-anak mudah terpengaruh karena lingkungannya abai. Mereka sering dirisak di lingkungannya dan tak mendapat perhatian."
Paham radikalisme masuk ke otak sejak dini seperti yang dialami Ali Imron. Awalnya mereka bersikap intoleran. Namun setelah itu mereka mudah mengkafirkan orang. Termasuk menuding kaum muslim yang tak sama sebagai kafir. "Dampak aksi terorisme menyebabkan citra Islam di mata internasional terpuruk," tutur Yenny.
Yenny berujar Islam Nusantara menjadi contoh dan dapat menjadi inspirasi untuk menangkal terorisme. Afganistan dan negara lain, kata dia, belajar toleransi di Indonesia karena ingin damai dan hidup normal.
EKO WIDIANTO