TEMPO.CO, Jambi - Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Jambi Arif Munandar mengatakan banjir bandang yang menerjang lima desa di Kecamatan Batangasai, Kabupaten Sarolangun, Jambi, 22 April lalu, diakibatkan pembalakan liar. “Terjadi kerusakan ekosistem,” ujarnya kepada Tempo, Ahad, 24 April 2016.
Menurut Arif, kondisi hutan di sepanjang daerah aliran Sungai Batangasai sudah rusak. Selain akibat aksi pembalakan liar, banjir tersebut terjadi karena alih fungsi lahan untuk dijadikan kawasan perkebunan serta aktivitas penambangan emas tanpa izin.
Arif menjelaskan, saat curah hujan tinggi, banjir bandang sangat mudah terjadi. Kalau ekosistemnya terjaga, tidak akan terjadi banjir meski curah hujan tinggi. "Kami menilai sudah jelas apa yang menjadi penyebab terjadinya banjir bandang,” ujarnya.
Arif mengatakan saat ini hampir semua korban banjir bandang di Batangasai sudah kembali ke rumah masing-masing. Hanya tersisa tiga keluarga yang masih mengungsi di rumah keluarganya. Rumah mereka hanyut tersapu bah. “Genangan air sudah mulai surut,” ucapnya.
Pemerintah Provinsi Jambi dan Pemerintah Kabupaten Sarolangun, kata Arif, telah memberikan bantuan berupa beras, selimut, mi instan, lauk-pauk, serta obat-obatan.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jambi Musri Nauli menyebutkan kerusakan ekosistem menjadi penyebab utama terjadinya banjir bandang di Kecamatan Batangasai.
Musri mengatakan banjir serupa akan terus berulang bila pemerintah tidak tegas dan secepatnya melakukan perbaikan hutan di kawasan daerah aliran sungai. Terbukti, hanya berselang sebulan, sudah terjadi dua kali banjir bandang di Kabupaten Sarolangin. Sebelumnya, banjir pada 28 Maret 2016 melanda Kecamatan Limun.
Musri menjelaskan, dua peristiwa banjir bandang itu terjadi karena daerah aliran Sungai Batangasai dan Sungai Batang Limun rusak parah. Banjir bandang membawa material berupa potongan batang kayu bekas aksi perusakan hutan. “Harus segera dilakukan reboisasi," tuturnya.
SYAIPUL BAKHORI