TEMPO.CO, Jakarta -Kartini kehilangan masa kecilnya ketika ia harus menjalani masa pingitan, sebagaimana anak perempuan Jawa di masa itu. Kala itu, sekitar awal 1892, Kartini yang baru saja lulus Europeesche Lagere School (sekolah dasar untuk orang Eropa) sedang galau. Di usianya yang belum genap 13 tahun, ia sudah diperintahkan ayahnya menjalani pingitan.
Dia sempat menghiba ke ayahnya, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, agar diizinkan melanjutkan sekolah ke Hogere Burger School (HBS, setingkat sekolah menengah) di Semarang. “Tidak,” jawab sang ayah tegas, seperti ditulis dalam edisi khusus Kartini majalah Tempo, 22 April 2013.
"Berlalu sudah! Masa muda yang indah sudah berlalu!" tulis Kartini menggambarkan nasibnya dalam salah satu suratnya kepada Rosa Manuela Abendanon-Mandri, istri kedua Jacques Henrij Abendanon, Direktur Departemen Pendidikan, Industri, dan Agama Hindia Belanda.
Seketika dunia Kartini menyempit. Dia dilarang keluar dari kompleks rumahnya yang megah. Jangankan ke pendapa, serambi saja hanya sesekali diinjaknya. Itu pun sebentar. Hari-harinya yang menjemukan semakin sunyi tatkala Letsy Detmaar, kawan sekolahnya dulu yang beberapa kali datang ke rumahnya, pulang ke Belanda.
Hampir saban pagi matanya berkaca-kaca ketika melihat kedua adiknya, Roekmini dan Kardinah, berangkat ke sekolah. Masih teringat jelas di benaknya betapa riang suasana di sekolah.
Kepada Estelle “Stella” Zeehandelaar, aktivis feminis dari Belanda yang menjadi sahabat pena pertamanya, Kartini menceritakan betapa putus asa ia menjalani pingitan yang mengerikan. Beberapa kali dia membenturkan tubuh ke dinding batu tebal di sekeliling rumah dan gerbang yang selalu terkunci. Otaknya terus mempertanyakan mengapa begitu rendah kedudukan wanita di tanah kelahirannya. Begitu pula soal beraneka tradisi feodal lainnya.
Selanjutnya:Melahap buku dalam "Kurungan"