TEMPO.CO, Jakarta - Suatu siang seusai pelajaran sekolah, seorang gadis Belanda jangkung dan pirang di Europeesche Lagere School, Letsy Detmar, asyik membaca buku di bawah pohon. “Ayo Letsy, ceritalah, apa saja bacakan sedikit dari bukumu,” ujar seorang anak perempuan berkulit sawo matang, dengan rasa ingin tahu yang meluap-luap.
Dialah Kartini, salah satu murid pribumi perempuan di sekolah itu. Letsy bercerita, ia membaca buku bahasa Prancis, agar dapat masuk ke sekolah guru di Belanda. Letsy kemudian balik bertanya kepada Kartini. “Tetapi Ni, kau belum pernah cerita kepada saya, akan jadi apakah kau nanti.”
Pertanyaan Letsy, seperti yang dituturkan Kartini dalam suratnya kepada Nyonya Abendanon, Agustus 1900, tidak dapat dilupakannya. Sebab, kemudian, saat Kartini bertanya kepada ayahandanya, menjadi apakah dirinya nanti, sang ayah menjawab, “Raden ayu!” Sebuah jawaban yang agaknya malah menjadi tanda tanya besar di benak kepalanya: seperti apa kehidupan raden ayu itu?
Inilah jawaban yang kelak malah membangkitkan jiwa Kartini untuk berontak terhadap peraturan-peraturan. Bahwa menjadi raden ayu berarti seorang gadis harus kawin, harus menjadi milik seorang laki-laki, tanpa mempunyai hak untuk bertanya apa, siapa, dan bagaimana.
Kartini memang pribadi yang tampaknya memiliki jiwa gelisah dan rasa ingin tahu besar. Berdasarkan cerita adiknya, Kardinah, semenjak kecil Kartini adalah anak yang enggan diatur. Sehari-hari ia sangat lincah, gesit, pandai. Ia suka bermain di kebun, meloncat-loncat, berlari-lari, dan mudah bergaul. Kebiasaan ini juga digambarkan Kartini dalam sebuah surat.
“Saya dinamakan kuda kore, kuda liar, karena saya jarang berjalan, tetapi selalu meloncat-loncat dan berlari,” kata Kartini dalam suratnya kepada Stella Zeehandelaar, 18 Agustus 1899. “Bagaimana saya dimaki-maki karena terlalu sering tertawa terbahak-bahak yang dikatakan tidak pantas, oleh sebab memperlihatkan gigi saya,” tulis Kartini, seperti dimuat Majalah Tempo, 22 April 2013.
Tidak aneh, ayah dan kakak-kakaknya menjuluki Kartini dengan sebutan “Trinil” atau burung kecil yang lincah dan cerewet. Namun ibunya, Ngasirah, tidak suka dengan julukan “Trinil” atau “Nil”. Ngasirah suka marah kepada adik-adik Kartini bila mereka ikut-ikutan memanggilnya “Nil”. “Karena dianggap tidak sopan,” tutur Kardinah.
Ketika ayah Kartini diangkat menjadi bupati, mereka pindah ke rumah dinas, yang sekarang disebut pendapa kabupaten. Mereka memiliki seorang pembantu bernama Ibu Sosro yang bertugas menjaga Kartini, Roekmini, dan Kardinah. Pada suatu saat, Ibu Sosro dibuat sangat marah. Awalnya, karena sedang mengantuk, ia enggan menemani mereka bermain di luar rumah. Ketiganya dikunci di dalam kamar, dan Ibu Sosro memilih tidur.
Mengetahui Ibu Sosro tertidur pulas di depan pintu, Kartini memimpin adik-adiknya kabur dan bermain seharian di kebun luar pendapa. Ibu Sosro, yang mengetahui perbuatan mereka, langsung marah dan mengadu ke orang tua Kartini. “Anak-anak nakal. Berani ya keluar dari kamar. Ini pasti Trinil yang mengajak kamu,” katanya.
Bukannya jera, ketiganya malah membalas dengan menaruh merica di dalam lumpang tempat Ibu Sosro biasa menumbuk kinang (sirih). Ketika Ibu Sosro menumbuk kinang di dalam lumpang dan memasukkannya ke dalam mulut, mulutnya langsung panas seperti terbakar. Dilaporkannya kembali kejadian itu kepada Sosroningrat. “Romo benar-benar marah kepada anak-anaknya kali ini. Sejak saat itu anak-anak tidak lagi berani berbuat seperti itu,” tulis Kardinah dalam buku The Three Sisters.
Selanjutnya: Ngetop di Sekolah Belanda