TEMPO.CO, Semarang - Perempuan yang mendaftar untuk menjadi panitia pengawas pemilihan umum kepala daerah di tujuh kabupaten kota di Jawa Tengah minim.
Tercatat hanya 39 orang dari 232 pendaftar yang diterima tim seleksi Panwaslu.“Dari aspek jenis kelamin pendaftar, calon panitia pengawas pilkada di Jawa Tengah masih didominasi laki-laki,” kata Ketua panitia seleksi calon pengawas pemilihan umum daerah, Hasyim Asy’ari, Kamis, 21 April 2016.
Total pendaftar dominasi pria sebanyak 193 orang atau 83,2 persen dan perempuan yang hanya 39 orang atau 16,8 persen. Menurut Hasyim, banyak pendaftar menyerahkan berkas di hari terakhir masa pendaftaran Rabu (20/4), mencapai lebih dari 90 orang. “Dari 232 pendaftar itu, yang paling banyak dari Pati 57 orang, Cilacap 34, Brebes 35 orang, Banjarnegara 36 orang, Jepara 28 orang, Batang 27 orang, dan Salatiga 15 orang,” kata Hasyim.
Jumlah pendaftar di masing-masing kabupaten dan kota itu sudah memenuhi ketentuan minimum. Sesuai pedoman seleksi, pendaftar kurang dari 9 orang maka tim seleksi dapat memperpanjang masa pendaftaran.
Tim seleksi menegaskan, tidak akan ada diskriminasi baik pendaftar laki-laki maupun perempuan, termasuk latar belakang pekerjaan pendaftar. “Semua pendaftar berangkat dari start yang sama,” katanya.
Tim seleksi akan mengumumkan nama hasil seleksi administrasi, Senin (25/4) mendatang, melalui website Bawaslu Jawa Tengah dengan laman www.bawaslu-jatengprov.go. “Selanjutnya, calon yang lolos seleksi administrasi akan diundang untuk ikut tes tertulis,” katanya.
Aktivis Perempuan Jawa Tengah, Siti Rofiah, mengakui minimnya pendaftar panwas menunjukan partsipasi perempuan dalam politik masih rendah. “Ini gejala umum ada semacam apatisme terhadap keterlibatan politik,” kata Siti.
Dia menilai minimnya keterlibatan perempuan di sistem pengawasan pemilu juga disebabkan hambatan di sektor domestik ketika ia dihadapkan bertangung jawab terhadap rumah tangga. “Tugas mendidik anak dan peran sebagai ibu sulit ditinggalkan. Ini masih menjadi beban berat seorang perempuan,” kata Siti.
Padahal, usia produktif perempuan atara 30 hingga 40 tahun seharusnya mampu digunakan berpartisipasi mengontrol lewat sistem politik, seperti menjadi anggota Panwaslu. Alasanya perempuan dikenal memiliki komitment kuat dalam bersikap, sesuai norma dan aturan yang berlaku, termasuk aturan politik.
EDI FAISOL