TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Komisaris Jenderal Tito Karnavian mengatakan tidak ada definisi jelas atas aksi terorisme. Namun ada kesepakatan bersama bahwa terorisme adalah ancaman kekerasan dengan target orang sipil dan bermotif ideologi atau politik.
"Definisi ini memang rancu, apalagi ada motif politik, maka berbicara kepentingan," kata Tito dalam seminar “Radikalisasi dan Terorisme dalam Perspektif NKRI” di gedung Nusantara I, DPR/MPR, Jakarta, Kamis, 21 April 2016.
Tito mencontohkan, Pangeran Diponegoro di Indonesia dianggap pahlawan. Namun, bagi pemerintah kolonial yang saat itu menjajah, ia dianggap teroris. Sebab, saat itu para pemberontak dianggap teroris.
Mantan Kapolda Metro Jaya ini menuturkan terorisme tidak hanya dilakukan oleh seorang warga negara, tapi dapat pula dilakukan pemerintah. Salah satu contohnya ialah Revolusi Prancis.
Di Indonesia, istilah teroris mulai ramai setelah tragedi 9 November 2001. Undang-Undang Terorisme di Indonesia hanya menyebutkan aksi teror dilakukan oleh warga negara. "Tertulis 'barang siapa' yang artinya substate," ujar Tito.
Namun, bila pemerintah melakukan kekerasan kepada warga, undang-undang yang dikenakan ialah pelanggaran hak asasi manusia. Tito menuturkan aksi teror bukan menargetkan jumlah korbannya, tapi dampaknya. Aksi teror ingin menjatuhkan kepercayaan masyarakat kepada penguasa.
Aksi teror sejatinya tidak melekat pada suatu agama tertentu. Di Indonesia, kebetulan saja berkembang kelompok teror yang membawa nilai agama Islam dengan mengatasnamakan jihad.
AHMAD FAIZ