TEMPO.CO, Luwu - Kejaksaan Negeri Belopa, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan, Kamis, 21 April, menahan Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Kabupaten Luwu Andi Syaifullah. Penahanan dilakukan setelah Syaifullah ditetapkan sebagai tersangka kasus pungutan liar terhadap 942 orang Calon Pegawai Negeri Sipil peserta prajabatan pada 2014 dan 2015.
Syaifullah ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Gunung Sari, Makassar, sebagai tahanan titipan. Kepala Seksi Intelejen Kejaksaan Negeri Belopa Agus Salim dan Kepala Seksi Pidana Khusus Akbar mengantar Syaifullah hingga ke LP.
Dua orang polisi bersenjata lengkap ikut di dalam mobil yang membawa Syaifullah guna melakukan pengamanan sepanjang perjalanan dari Parepare ke Makassar. Adapun Syaifullah tidak berkomentar ketika ditanya wartawan. Dia langsung masuk ke mobil operasional kejaksaan yang membawanya ke Makassar.
Syaifullah selalu menghindari dari wartawan yang ingin meminta penjelasannya ihwal pungutan itu. Usai diperiksa beberapa waktu lalu, dia memilih bungkam. Wartawan juga sudah berupaya menemuinya di kantornya usai menjalani pemeriksaan di kejakasaan. Namun, ruang kerjanya kosong. Telepon selulernya juga tidak aktif.
Kepala Kejaksaan Negeri Belopa Zet Tadung Allo menjelaskan selain dugaan melakukan pungutan liar, juga ada dugaan korupsi, karena terjadi penggunaan anggaran prajabatan yang tidak wajar. “Tim kami masih melakukan penyidikan," katanya, Kamis, 21 April 2016.
Menurut Zet, Syaifullah menjalani penahanan tahap pertama, terhitung sejak 21 April 2016 hingga 10 Mei 2016. Penahanan akan diperpanjang sambil merampungkan berkas perkaranya. Sebelum ditetapkan sebagai tersangka, penyidik kejaksaan menyita uang tunai Rp 170 juta yang disimpan dalam brankas di BKD Luwu. “Uang itu kami sita sebagai barang bukti," katanya.
Selain menyita uang di brankas bendahara BKD, Jaksa juga menyita sejumlah dokumen penting yang berkaitan dengan Pelatihan dan Pendidikan CPNS. Hasilnya, setiap peserta prajabatan diwajibkan menyetor Rp 350 ribu pada panitia pelaksana prajabatan.
Zet menegaskan, selain Syaifullah, siapa saja yang terlibat dalam kasus itu dijerat dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang tindak pidana korupsi. Ancaman hukumannya empat tahun penjara.
Agus Salim menjelaskan, penyidikan kasus pungutan liar itu terus berjalan, meski sudah ada yang dijadikan tersangka. "Peluang adanya tersangka lain, cukup terbuka," ucapnya.
Peserta prajabatan adalah pegawai honorer kategori 1 (K1) dan kategori 2 (K2) yang telah lulus seleksi sebagai CPNS. Mereka harus menempuh prajabatan yang dilaksanakan oleh BKD untuk mendapatkan predikat sebagai pegawai negeri sipil (PNS).
Pada 2014, misalnya, kegiatan prajabatan berlangsung selama 14 hari. Pemerintah Kabupaten Luwu sebenarnya sudah menyediakan dana Rp 2 miliar untuk membiayai seluruh kebutuhan kegiatan prajabatan. Namun, kenyataannya setiap peserta dimintai uang Rp 350 ribu. Bahkan ada yang dipungut hingga Rp 900 ribu.
Selain itu, prajabatan tidak dilakukan di hotel, seperti yang dijelaskan dalam laporan panita, melainkan di rumah jabatan bupati di Kelurahan Pamannu, Kecamatan Belopa.
Sebelumnya, Sekretaris BKD Kabupaten Luwu Harun membenarkan ada pungutan pada setiap peserta prajabatan. Namun ketika Syaifullah dan panitia pelaksana prajabatan melakukan rapat membahas jumlah uang yang wajib disetor setiap peserta, Harun tidak ikut. "Waktu itu saya mengikuti kegiatan di Makassar, sehingga tidak tahu persis masalahnya,” tuturnya.
Harun yang sudah menjalani pemeriksaan sebagai saksi di kejaksaan, baru mengetahui peserta prajabatan wajib membayar setelah diberitahu stafnya. Dana tersebut kata Harun, digunakan membeli kasur dan kebutuhan lain peserta prajabatan.
Salah seorang peserta pra jabatan yang enggan disebut identitasnya membenarkan setiap peserta diminta menyetor uang. Sebagian peserta memberikan langsung kepada bendahara BKD. Sebagian lagi menyerahkannya melalui ketua kelompok pra jabatan. "Alasannya untuk membeli kebutuhan selama pra jabatan, seperti alas tidur, kipas angin dan kebutuhan lainnya," tuturnya.
HASWADI