TEMPO.CO, Sidoarjo - Dua kotak berwarna hitam yang di atasnya ditumpangi monitor dalam keadaan menyala itu berada di sudut belakang ruang sidang saat persidangan kasus kredit fiktif Bank Jatim Cabang Jombang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Surabaya, Rabu, 20 April 2016.
Di depan monitor itu, seseorang terlihat sibuk memencet tombol remot. Tak jarang dia terlihat melototi tayangan gambar yang muncul di monitor. Di sampingnya, seorang sibuk mencatat jalannya sidang. Dua orang lainnya khusyuk mendengarkan sidang sembari memainkan ponsel pintar.
Keempat orang itu tak lain mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Airlangga. Mereka adalah tim kecil yang bertugas merekam jalannya persidangan di Pengadilan Tipikor Surabaya. "Saat ini kami fokus merekam kasus Bank Jatim," kata Fuad Ikra Murahman, salah satu dari mereka.
Sebelumnya sejumlah alat disiapkan untuk merekam. Audio box, visual box, monitor, kamera, mikrofon, serta alat perekam dipasang di sejumlah titik ruangan. Dari alat-alat tersebut, nantinya menghasilkan video yang berisi jalannya persidangan. "Video itu nantinya disimpan dalam bentuk CD."
Katua tim perekam sidang yang juga dosen hukum Universitas Airlangga, Iqbal Felisiano, mengatakan kegiatan ini merupakan kerja sama antara Unair dengan Komisi Pemberantasan Korupasi (KPK). Kerja sama itu sudah dimulai sejak 2009. Hasil rekaman nantinya dikirim ke KPK.
Sejak 2009, kata dia, tim perekam sidang yang terdiri dari 13 mahasiswa hukum itu telah mengikuti beberapa persidangan di Pengadilan Tipikor Surabaya. Di antaranya kasus Bulog, korupsi pembangunan gedung Bea dan Cukai Jatim I, dan kredit fiktif Bank Jatim.
Menurutnya, tidak semua sidang di Tipikor Surabaya direkam. "Sesuai permintaan KPK. Tapi kalau kasus Bank Jatim Cabang Jombang ini kami sendiri yang mangajukan untuk direkam dengan pertimbangan kerena menyita perhatian publik," katanya.
Perekaman, kata dia, dilakukan untuk memantau jalannya sidang. Selain itu sebagai sarana belajar bagi mahasiswa.
Kasus KUR fiktif Bank Jatim Cabang pada 2010-2012 telah menyeret 12 orang yang terdiri dari pegawai dan kepala cabang dengan merugikan uang negara senilai Rp 19 miliar.
NUR HADI