TEMPO.CO, Jakarta - Organisasi masyarakat Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPRR) mengusulkan sembilan poin perubahan revisi Undang-Undang Pilkada. "Kami minta pejabat publik mundur, agar tidak menggunakan fasilitas negara saat kampanye," kata koordinator JPRR, Masykurudin Hafidz, secara tertulis pada Rabu, 20 April 2016.
Pegawai negeri sipil dan pejabat publik yang mencalonkan diri diminta mundur saat Komisi Pemilihan Umum menetapkan pasangan calon peserta pilkada.
Hafidz juga meminta UU Pilkada menurunkan persentase minimal syarat untuk maju sebagai calon kepala daerah. Dia meminta batas minimal persentase dukungan dari partai politik sebesar 10-15 persen saja. Sedangkan syarat untuk calon independen hanya 6,5-10 persen dari jumlah pemilih.
Poin ketiga, Hafidz meminta pasangan calon sedang berstatus bebas murni atau tidak tersangkut perkara pidana. Dia juga menyarankan UU mengatur tentang permainan mahar politik yang terjadi di partai politik. "Jika terbukti, pasangan calon harus diberi sanksi," ucapnya.
JPRR menyarankan ada klausul tambahan berupa larangan dan sanksi bagi pelaku politik uang. Menurut dia, desain penegakan hukum pilkada juga harus beriringan dengan tahapan dan terdapat kepastian waktu putusan. "Misalnya, upaya hukum pertama ke PTUN dan bisa kasasi ke MA atau upaya hukum ke Bawaslu dan keberatan ke MA."
Dia juga menyarankan anggaran pilkada serentak dibebankan ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara mulai 2018. KPU juga diminta mengganti iklan sosialisasi menjadi debat publik pasangan calon.
"Partai politik yang sedang bersengketa dilarang mengikuti pilkada hingga mempunyai keputusan hukum tetap." Dia meminta tidak ada lagi pendaftaran pasangan calon dari dua kepengurusan berbeda.
Sebelumnya, usulan revisi UU Pilkada dilontarkan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo. Dia menuturkan draf usul revisi UU tersebut sudah siap. Rencananya, pembahasan tentang revisi beleid itu akan diprioritaskan tahun ini.
AVIT HIDAYAT