TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Demokrat, Benny Kabur Harman, menuturkan pemerintah harus merespons kesimpulan dari hasil Simposium 1965 yang berlangsung di Hotel Aryaduta dua hari lalu. Jalur rekonsiliasi harus ditempuh agar semua pihak saling memaafkan dan memulai komitmen hidup baru. "Tanpa harus melupakan peristiwa ‘65," katanya di gedung MPR/DPR, Jakarta, Rabu, 20 April 2016.
Pasca-rekonsiliasi, tidak perlu lagi diungkit-ungkit peristiwa 1965. Benny menambahkan, saat ini tidak dibutuhkan komisi kepresidenan untuk mengungkap fakta-fakta yang ada atau komisi kebenaran dan rekonsiliasi. "Tanpa diungkapkan, semua orang sudah tahu peristiwa itu. Buat apa ungkit lagi sebuah fakta yang sudah terjadi," ujarnya.
Anggota Dewan dari Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani, menambahkan, kasus ‘65 sudah lama berlalu dan pelakunya banyak yang wafat. Dia setuju adanya rekonsiliasi dan rehabilitasi, tapi tanpa perlu didahului permintaan maaf dari negara. "Poin krusialnya minta maaf," tuturnya.
Arsul menuturkan kasus 1965 tidak boleh dilihat dari satu sisi, yaitu pembantaian, yang dianggap sebagai simpatisan Partai Komunis Indonesia. Peristiwa 1965 tidak berdiri sendiri, melainkan bentuk sebab-akibat. "Lihat tahun sebelumnya saat PKI berkuasa. Mereka melakukan hal serupa. Tahun 1948, peristiwa Madiun," ujarnya.
Bila negara harus meminta maaf, pihak PKI harus melakukan yang sama. "PKI sudah enggak ada, ya jadi mau minta maaf ke siapa juga?" kata Arsul. Negara lebih baik memberi perhatian kepada keluarga korban PKI ketimbang meminta maaf. Arsul menambahkan, harus ada jaminan tidak akan ada kejadian yang sama nantinya.
Hasil rekonsiliasi yang meminta pengungkapan kebenaran, kata Arsul, harus dilakukan secara menyeluruh. Termasuk pemicu terjadinya tragedi 1965, yaitu sikap sewenang-wenang PKI saat masih menjadi partai yang berkuasa.
Sama dengan Arsul, Ruhut Sitompul menolak bila pemerintah harus meminta maaf. Ia meminta masalah 1965 dilihat kasus per kasus. Yang menjadi korban juga berasal dari pejabat negara, yaitu para jenderal. "(Jenderal) D.I. Pandjaitan itu paman saya, dia belum lama dari rumah kami dan mengajak berkunjung ke Jakarta," ujarnya.
AHMAD FAIZ