TEMPO.CO, Serang - Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Provinsi Banten tahun 2015 terancam kembali mendapat opini disclaimer (tidak memberikan pendapat) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) seperti tahun lalu. Penyebabnya, dari Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Gubernur Banten 2015, ada 10 SKPD yang serapannya rendah.
Selain itu, sisa lebih penghitungan anggaran (silpa) Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi Banten 2015 membengkak hingga Rp 1,19 triliun dari anggaran belanja daerah sebesar Rp 9,27 triliun. “Dengan kondisi seperti ini, saya berkeyakinan LHP BPK ke depan berpotensi disclaimer lagi seperti tahun lalu,” ujar Sekretaris Fraksi Partai Golkar DPRD Banten Fitron Nur Ikhsan, Rabu, 20 April 2016.
Hal yang sama dikatakan anggota Komisi IV DPRD Banten, Najib Hamas. Menurut Najin, sangat besar potensi Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK atas LKPD Provinsi Banten tahun 2015 mendapat opini disclaimer. Menurut dia, faktor yang menyebabkan opini disclaimer itu terkait dengan manajemen aset. Jika pengelolaan aset tidak sesuai dengan ketentuan, hal itu berpotensi disclaimer, termasuk pengadaan lahan yang menjadi aset.
“Jika pola pengadaan lahan sebagai aset ini tidak sesuai dengan ketentuan, akan berpotensi disclaimer. Tahun lalu kan begitu, ada pengadaan yang tidak sesuai dengan ketentuan, sehingga menyumbangkan potensi disclaimer,” ujar Najib.
Sebelumnya, anggota Fraksi Partai Gerindra DPRD Banten, Ade Hidayat, menilai Rano Karno belum menjalankan fungsi sebagai gubernur dengan baik. Ade Khawatir pemerintah Banten kembali akan mendapat opini disclaimer dari BPK tahun ini.
“Ini menunjukkan kinerja Pemprov Banten di bawah kepemimpinan Gubernur Rano Karno sangat lemah. Anggaran sebanyak itu seharusnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat, tapi itu tidak dilaksanakan sehingga terjadilah silpa. Rano kelihatannya tidak mampu memaksimalkan sumber daya yang ada,” katanya.
Sementara itu, Kepala Biro Perlengkapan dan Aset Daerah Banten Djoko Sumarsono mengatakan faktor penyebab rendahnya serapan adalah adanya beberapa pembebasan lahan yang tertunda. Pembebasan lahan yang terbesar adalah lahan untuk Waduk Sindangheula.
Namun Djoko menuding kendala tidak terlaksananya pembebasan lahan ada di instansi terkait, yakni Badan Pertanahan Nasional (BPN). “Kendalanya bukan ada di kami, melainkan teknis pelaksana pembebasan itu di BPN. Kami dari pemprov hanya sebagai kasir, juru bayar,” tuturnya.
WASI’UL ULUM