TEMPO.CO, Jakarta - Kuasa hukum nelayan Muara Angke, Tigor Hutapea, mengatakan reklamasi Teluk Jakarta yang dilakukan pemerintah Provinsi DKI Jakarta cacat hukum. Ia menilai Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 selalu dijadikan referensi melakukan reklamasi. Di tahun itu, pemerintah masih bersifat otoriter.
"Sehingga kebijakan ada yang menguntungkan sebagian orang yang punya modal," kata Tigor dalam diskusi reklamasi di Jakarta Barat, Kamis, 14 April 2016.
Menurut aktivis Lembaga Bantuan Hukum Jakarta itu, dari tahun 1995 hingga 2010, belum terlihat proyek reklamasi dilakukan. Namun pada 2011 pengajuan izin dari pengembang untuk reklamasi mulai tampak. Ia mencontohkan kawasan permukiman Pantai Indah Kapuk yang juga berasal dari reklamasi.
Baca Juga: Jakarta Makin Tak Ramah bagi Nelayan
Tigor mengatakan reklamasi boleh dilakukan. Peruntukan reklamasi bisa dijalankan, misalnya untuk pertambangan, permukiman, serta pengambilan sumber daya di laut. Namun, sebelum reklamasi berjalan, harus ada analisis dampak lingkungan. "Harus ada kajian strategis, jika reklamasi di daerah konservasi, tidak boleh dilakukan," katanya.
Pemerintah DKI Jakarta berencana melakukan reklamasi terhadap 17 pulau di Jakarta. Tigor mengatakan seharusnya ada kajian analisis dampak lingkungan secara menyeluruh terhadap rencana reklamasi. Jika analisis hanya dilakukan terhadap satu pulau saja, tidak akan mencerminkan analisis yang komprehensif. "Amdal yang dikeluarkan hanya fokus ke satu pulau, dampaknya enggak kelihatan."
DANANG FIRMANTO