TEMPO.CO, Jakarta - Kalangan pebisnis karet mengenal Agusman Lahagu, tersangka pembunuh dua petugas pajak di Gunung Sitoli, Nias, Sumatera Utara, sebagai pengusaha kelas menengah.
Menurut penasihat Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo), Daud Husni Bastari, Agusman hanyalah pedagang perantara alias tengkulak. “Skala usahanya tak besar-besar amat,” ujar Daud kepada Tempo, Rabu, 13 April 2016.
"Pekerjaan dia membeli karet dari petani, lalu menjualnya ke pabrik. Ia bukan anggota Gapkindo," kata Daud.
(Baca: Polisi Tetapkan 4 Tersangka Baru Pembunuhan Petugas Pajak)
Agusman Lagahu alias Ama Tety, 45 tahun, kini ditahan di Markas Kepolisian Daerah Sumatera Utara. Selasa sore lalu, ia menikam hingga tewas juru sita pajak negara Kantor Pelayanan Pajak Sibolga, Parada Toga Fransriano, serta petugas honorer Satuan Pengamanan Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan Gunung Sitoli, Soza Nolo Lase.
Peristiwa itu terjadi saat kedua petugas tersebut hendak menagih tunggakan pajak Agusman sebesar Rp 14 miliar.
(Baca: 2 Petugas Pajak Tewas Dibunuh Wajib Pajak di Nias)
Menurut Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Ken Dwijugiasteadi, Agusman telah menunggak pembayaran pajak selama 2 tahun 6 bulan. “Tunggakan Rp 14 miliar di Sibolga dan Nias itu sangat besar,” kata Ken di Markas Besar Polri, kemarin.
Ken menceritakan kronologi peristiwa tersebut. Menurut dia, Parada dan Soza mencari Agusman ke kantornya di Sibolga. Mereka hendak menyerahkan surat penagihan pajak, tapi Agusman tak ada di tempat. Keduanya pun mendatangi kebun karetnya di Nias. “Di sanalah kedua petugas kami dihakimi sendiri oleh wajib pajak.”
Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Humas Direktorat Jenderal Pajak Mekar Satria Utama mengatakan tunggakan pajak Agusman sebesar Rp 14 miliar itu merupakan pajak perseorangan. “Bukan perusahaan.”
Jumlah tunggakan pajak pribadi sebesar itu membuat Daud heran. Bagaimana mungkin Agusman, yang tergolong pedagang kelas “sedang”, bisa menunggak pajak hingga Rp 14 miliar. "Usahanya sedang-sedang saja."
Mekar menjelaskan, selain menampung getah karet milik para petani, Agusman membeli produk dari para pengepul lain. Karena itu, utang pajaknya besar. “Saat menyerahkan getah karet ke pihak ketiga (pabrik), kami kan ada datanya,” kata Mekar, beralasan. Data itulah yang menjadi dasar bagi Kantor Pajak menerbitkan surat penagihan untuk diklarifikasi.
Daud mengungkap banyak perusahaan perdagangan karet dengan status badan usaha yang tidak jelas. “Banyak pengepul tak punya NPWP (nomor pokok wajib pajak)." Gapkindo telah meminta Kementerian Perdagangan menertibkan mereka.
Ken menyesalkan peristiwa itu. Ia mengakui instansinya salah memprediksi. Nias, yang dianggap sebagai daerah aman, ternyata rawan. Ke depan, ia bakal meminta petugas selalu berkoordinasi dengan kepolisian saat akan menagih pajak.
Hingga kemarin, Kepolisian Daerah Sumatera Utara telah menangkap 10 orang, termasuk Agusman. Kepala Polri Jenderal Badrodin Haiti mengatakan pihaknya tengah meminta keterangan dari sembilan saksi. “Sedang diperiksa, siapa-siapa saja yang terlibat.”
PRAGA UTAMA | SINGGIH SOARES