TEMPO.CO, Jakarta - Keberadaan transportasi online saat ini tidak mungkin untuk dihapus. Sebab beroperasinya tranportasi berbasis aplikasi online ini adalah konsekuensi dari kemajuan teknologi digital. "Ini aspek ekonomi dari perkembangan teknologi digital yang tidak bisa ditahan," kata pelaku bisnis online, Naufal Firman Yursak, dalam diskusi bertajuk "Amuk Taksi, Ekonomi Kreatif, dan Revolusi Digital".
Diskusi itu digelar di di restoran Gado-Gado Boplo, Menteng, Jakarta Pusat Sabtu, 26 Maret 2016. Menurut Naufal, pelarangan bukanlah solusi tepat untuk menghadapi perkembangan teknologi digital. "Harus diatur melalui kebijakan yang adaptif."
Naufal mengatakan, aplikasi online adalah captive market yang sangat besar. Di Indonesia, kata Naufal, ada 83 juta user yang terhubung internet, 69 juta user terhubung Facebook, dan 45 user terhubung Twitter. "Ini pasar yang sangat besar di Indonesia," kata Naufal. Dan aplikasi online bisa digunakan untuk memenuhi berbagai kebutuhan dasar masyarakat, misalnya transportasi online hingga berbelanja online.
Komisaris Utama Balai Pustaka Hamid Basyaib mengatakan penolakan terhadap transportasi online disebabkan ketidaktahuan pelaku transportasi reguler terhadap perkembangan aplikasi online. Apalagi, orang cenderung memegang hal yang lama atau konservatif. "Jadi biasa itu, semakin tinggi ketidaktahuan, semakin tinggi penolakan," kata Hamid.
Karena itu perkembangan teknologi digital yang dimanfaatkan oleh aplikasi online tidak bisa dicegah. Ditambah lagi, penciptaan lapangan kerja yang sangat besar dari transportasi online. Dia mencontohkan, jumlah pengemudi ojek online Go-Jek saat ini sudah mencapai 200 ribu dalam waktu kurang dari satu tahun.
"Bisnis mana yang bisa menciptakan lapangan kerja secepat itu. Pemerintah mau membunuh ini? Enggak masuk akal," kata Hamid.
AMIRULLAH