TEMPO.CO, Surabaya – Tenaga lokal dinilai mampu mendukung kebutuhan pembangunan pembangkit listrik sebesar 35 ribu megawatt. Megaproyek yang dicanangkan Presiden Joko Widodo dalam jangka waktu lima tahun ke depan itu, membutuhkan ribuan sarjana lokal dan tenaga operator.
“Tenaga kerja dari Indonesia sendiri saja sudah mampu. Digabung dari seluruh Indonesia, sudah cukup,” kata Ketua Jurusan Teknik Elektronika Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya Ardyono Priyadi kepada Tempo, Sabtu 26 Maret 2016.
Ardyono merinci, menuju pencapaian 35 ribu megawatt, rata-rata dibutuhkan 5.000 sarjana setiap tahunnya yang memang sengaja dicetak untuk penguasaan keahlian untuk pembangunan pembangkit itu. Mereka tersebar mulai dari teknik elektronika, teknik kimia, teknik fisika, teknik mesin, juga dari teknik industri.
“Dari ITS saja, tiap tahun lulusan kami ada sekitar 1.000 orang setahun," katanya memberi ilustrasi.
Untuk itu, Ardyono menambahkan, program vokasi dipandang penting untuk mempercepat pemenuhan kebutuhan tenaga kerja tersebut. Pendidikan vokasi bermanfaat untuk mendekatkan lulusan dengan dunia industri. Kurikulumnya pun disesuaikan dengan kebutuhan industri persetruman, sehingga tenaga kerja yang dihasilkan lebih mumpuni.
“Meski ada problem juga di sertifikasi di era perdagangan bebas, karena di insinyur belum ada sertifikasi profesi seperti di jurusan hukum maupun kedokteran,” katanya.
Dosen Teknik Elektro Industri Politeknik Elektronika Negeri Surabaya (PENS) Endro Wahjono, mengungkapkan, PENS telah bekerja sama dengan PT Pembangkitan Jawa-Bali (PJB) untuk program vokasi tersebut sejak 2013. Setelah berjalan selama 4 angkatan, pendidikan tersebut dinilai efektif mengembangkan SDM terutama bagi mereka yang berpotensi namun tergolong tak mampu secara finansial.
Mereka terbagi ke dalam tiga prodi, yakni teknik listrik pembangkit, teknik mesin pembangkit, dan teknik instrumen pembangkit. “Tiap tahun kami terima 120 mahasiswa baru. Setelah mereka lulus, 95 persen diterima oleh industri, yakni PT PJB Services,” ujarnya.
Endro mengakui, kebutuhan tenaga kerja sebanyak 5.000 orang tiap tahun demi megaproyek 35 ribu megawatt tersebut. Terutama untuk tenaga operator. Apalagi, kebutuhan tenaga kerja usia produktif sangat penting.
Bahkan, dia mengungkap, sebagian karyawan di pembangkit listrik yang sudah pensiun dipekerjakan lagi. “Karena kurang tenaga kerja. Dari situlah PJB dan PENS membuka program itu untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja,” tuturnya.
Dari empat anak perusahaan, empat perusahaan afiliasi, dan beberapa cucu perusahaan, SDM PT PJB dan PJB Grup dianggap berkembang secara signifikan. Jumlah SDM PT PJB sendiri hingga 1 Januari 2016 mencapai 2.845 orang. Sedangkan PJB Grup mencapai 7.538 orang.
“Akhir tahun 2016 nanti diproyeksikan meningkat menjadi 3.032 orang untuk PT PJB dan 9.676 orang bagi PJB Grup,” ujar Plt Direktur Utama PT PJB Muljo Adji.
Selain meningkatkan kompetensi internal, Muljo membenarkan Akademi Komunitas PJB dibentuk dengan menggandeng perguruan tinggi dan sekolah kejuruan. Akademi Komunitas Pembangkit PJB, kata dia, awalnya merupakan program pendidikan dan Pelatihan operasi dan pemeliharaan pembangkit tenaga listrik (Diklat O dan M) untuk masyarakat di sekitar Unit Pembangkit (UP) Paiton dan UP Gresik.
Namun sejak 2012, program berubah menjadi Akademi Komunitas sebagai salah satu bentuk CSR PT PJB. “Di samping kerja sama pendidikan vokasi dengan PENS, PJB juga bekerja sama dengan Politeknik Universitas Sriwijaya, Palembang dan Politeknik Universitas Hasanuddin, Makasar,” ujarnya.
Termasuk membuat nota kesepahaman dengan SMK PGRI 3 Malang untuk pembukaan jurusan baru, yaitu Mesin Pembangkit, Listrik Pembangkit, dan Kontrol Instrumen Pembangkit. Ke depan, Akademi Komunitas PJB akan dikembangkan menjadi lembaga terakreditasi dan menjadi Akademi Pembangkit (AKAKIT).
“Program 35 ribu megawatt membutuhkan SDM dalam jumlah besar dengan kompetensi yang memadai. Sehingga harus mampu menyediakan SDM yang kompeten,” ujarnya menegaskan.
ARTIKA RACHMI FARMITA