TEMPO.CO, Jakarta - Greenpeace Indonesia meluncurkan peta digital online yang memungkinkan publik memantau kebakaran lahan dan deforestasi. Peta ini mampu memperlihatkan secara lengkap siapa pemilik lahan yang terdeteksi api. Juru kampanye hutan Greenpeace Indonesia, Teguh Surya, mengatakan peta interaktif bernama Kepo Hutan diciptakan untuk mendukung program pemerintah. "Apalagi krisis asap kembali terjadi dengan munculnya 500 titik api dalam beberapa hari terakhir," katanya dalam siaran pers, Selasa, 22 Maret 2016.
Peta interaktif Kepo Hutan memberi keleluasaan bagi masyarakat luas untuk melihat informasi terperinci mengenai konsesi perusahaan. Selain itu, dapat dilihat keterkaitannya terhadap lahan gambut, titik-titik api, dan peringatan deforestasi.
Bambang Widjojanto, penasihat hukum kebijakan publik, mengatakan platform peta baru akan mengungkap banyak hal tentang tata kelola hutan Indonesia yang belum sepenuhnya terbuka. Transparansi, kata Bambang, merupakan bukti pemerintahan yang akuntabel dan dapat memberantas korupsi. Menurut dia, jika semua orang mendapat akses informasi untuk melihat dari siapa saja hak atas hutan dialihkan dan kepada siapa hak itu diberikan, peta-peta itu akan mampu mencegah kerugian sumber daya negara yang timbul dari korupsi dalam hal konsesi serta meningkatkan kepatuhan dalam tata kelola lahan.
Peta interaktif dirancang menggunakan teknologi open source dari Global Forest Watch. Peta pertama menyediakan kumpulan data komprehensif perkebunan kelapa sawit, hutan tanaman industri, dan pengusahaan kayu alam, serta izin pertambangan batu bara.
Greenpeace telah mengumpulkan data konsesi dari berbagai sumber, termasuk peta berbentuk cetak dan PDF. Kemudian didigitalisasi menjadi peta digital yang dapat digunakan dalam analisis geospasial (format shapefile). Format shapefile sangat dibutuhkan sebagai bahan analisis.
Data kompilasi yang dimiliki Greenpeace juga disandingkan dengan data-data lain, yang juga tersedia pada platform, seperti data titik api, jenis tutupan hutan, kedalaman gambut, deforestasi, serta sebaran habitat orang utan dan harimau.
"Kami telah melakukan upaya terbaik untuk mengumpulkan seluruh data yang tersedia dalam satu platform interaktif," ujar Teguh. Namun, dia berujar, informasi publik mengenai siapa yang mengontrol hutan melalui peta konsesi mutakhir dalam format shapefile yang dapat dianalisis akan lebih baik.
Teguh berharap, pemerintah mengabulkan permintaan resmi untuk merilis data tersebut. Karenanya, Greenpeace tidak perlu melanjutkan sengketa informasi ke Komisi Informasi Pusat.
MAYA AYU PUSPITASARI