TEMPO.CO, Surabaya - Universitas Airlangga, Surabaya, meresmikan Museum Etnografi, Senin 21 Maret 2016. Museum dan Pusat Kajian Etnografi yang berada di bawah Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) ini memiliki ratusan koleksi barang bersejarah yang berkaitan dengan prosesi kematian di Nusantara.
Termasuk diantara koleksi museum dan pusat kajian ini adalah tengkorak manusia prasejarah. "Kami punya banyak banyak koleksi kerangka manusia yang tersebar di Jawa Timur, contohnya Trowulan. Tapi yang tertua dari NTT yang usianya sekitar 3000 tahun," kata Ketua Pengelola Museum dan Kajian Etnogafi Unair, Toetik Koesbardiati, di sela acara peluncuran, Senin 21 Maret 2016.
Museum yang dirintis sejak 25 September 2005 itu juga mengkoleksi berbagai penemuan dari penelitian para antropolog Unair. Mulai fosil manusia, batu-batuan, falistik (alat bantu kelamin pria), keramik zaman prasejarah, hingga kain tenun dan batik serta gerabah.
Juga ada alat bercocok tanam seperti cangkul dan jerami. Pun dengan barang kesenian dan budaya daerah, seperti pecut Madura, manekin dan baju adat istiadat suku di daerah, sampai perangkat kematian, seperti kafan dan jailangkung.
Karena koleksinya itu ruang-ruang museum menjadi unik. Di satu sudut, pengunjung akan diajak mengenali tradisi kematian dari seluruh penjuru Indonesia, seperti Brobosan (Jawa Timur), Saur Matua (Sumateran Utara), Ngaben (Bali), Rambu Solo dan makam bayi Kambira (Toraja), dan tidak mengubur jenazah di Bangli, Bali.
Selain itu ada penjelasan mengenai ritual Ma’nene ala Toraja, lengkap dengan replika mayat leluhur yang diawetkan. Ada pula kotak hologram yang menggambarkan kebiasaan proses secondary burial atau pengumpulan tulang-belulang dari Suku Asmat.
Di bagian lain, pengunjung diajak mempelajari Persebaran Manusia Modern di dunia. “Ada satu kerangka manusia betulan. Kalau banyak nanti terlalu menakutkan kesannya,” kata Toeti.
Toeti menegaskan, museum ini berfungsi sebagai sumber pengetahuan atau edukasi tentang evolusi dunia, khususnya pemahaman tentang Antropologi. "Dengan adanya koleksi itu para mahasiswa juga dapat berkesempatan untuk terus melakukan penelitian maupun skripsi," kata dia.
Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Hilmar Farid, menyatakan, Museum Etnografi FISIP Unair merupakan museum berbasis kampus kedua di Indonesia setelah museum milik Universitas Cendana, Papua. “Ini membangun tradisi baru, yaitu kampus mengembangkan museum,” katanya.
Hilmar berharap, perguruan tinggi tidak hanya mengumpulkan pengetahuan, tapi turut bertanggung jawab mengkomunikasikan hasil penelitian dan keilmuan mereka selama ini. “Akhirnya membuka ruang dialog publik.”
ARTIKA RACHMI FARMITA