TEMPO.CO, Klaten - Kematian Siyono oleh Detasemen Khusus 88 Antiteror memantik aksi protes mahasiswa di Bundaran Gladak, Kota Surakarta, Rabu, 16 Maret 2016. Aksi serupa juga akan digelar Aliansi Ormas Islam Klaten di Masjid Agung Al Aqsho pada Jumat, 18 Maret 2016.
Siyono adalah warga Dukuh Brengkungan, Desa Pogung, Kecamatan Cawas, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Lelaki 33 tahun itu ditangkap anggota Densus 88 seusai menunaikan salat Maghrib di masjid samping rumahnya pada Selasa, 8 Maret 2016. Ayah lima anak itu dikabarkan tewas pada Jumat, 11 Maret 2016. Polisi berkilah Siyono tewas setelah berkelahi dengan anggota Densus 88.
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Siane Indriani, mengatakan sudah waktunya pemerintah mengubah strategi penanggulangan terorisme. “Jangan gunakan Densus 88. Terorisme tidak akan bisa diselesaikan hanya dengan kekerasan. Dengan Densus 88, berarti Indonesia tidak mau lepas dari terorisme,” kata Siane saat dihubungi Tempo.
Menurut Siane, Densus 88 adalah lembaga yang tidak bisa dikontrol pihak mana pun. Dengan demikian, kata Siane, Densus 88 bisa menyiksa atau menembak mati siapa saja yang diduga teroris tanpa merasa khawatir bakal dikoreksi. “Sudah lebih dari 100 orang yang ditembak dalam kondisi tidak berdaya. Siapa berani melawan Densus? Wartawan juga harus hati-hati, lho,” kata Siane.
Siane berujar, Densus 88 semestinya bekerja dengan cara polisi yang merupakan pranata umum sipil pengatur tata tertib dan hukum. Namun selama ini Densus selalu mempertontonkan cara kerja militer. “Cara kerjanya disebut sipil, tapi kenyataannya militer. Kalau memang begitu, seharusnya TNI dilibatkan saja,” ujar Siane.
Selain memiliki kewenangan penanggulangan terorisme, Siane mengatakan, keterlibatan TNI bisa menjadi alat kontrol bagi Densus 88. Sebab, besarnya kewenangan pada satu lembaga saja dalam menanggulangi terorisme berpotensi disalahgunakan.
Menurut Ketua Tim Pembela Muslim (TPM) Mahendradatta, masyarakat tidak akan percaya begitu saja dengan pernyataan-pernyataan resmi Markas Besar Kepolisian RI ihwal penyebab tewasnya para terduga teroris yang ditangkap Densus 88. “Seperti dalam kasus Siyono, polisi terkesan memamerkan kekuatan untuk menekan keluarganya sehingga mereka memilih pasrah,” kata Mahendradatta.
Mahendradatta menambahkan, penegakan hukum secara zalim oleh Densus 88 bakal memicu dendam berkepanjangan dari para pihak yang merasa dirugikan. Sri Kalono yang mengaku sebagai kuasa hukum Marso, ayah Siyono, mengatakan memang ada kesan keluarga Siyono selama ini mendapat tekanan dari pihak tertentu. “Anda bisa simpulkan sendiri siapa yang menekannya,” kata Kalono.
DINDA LEO LISTY