TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme yang baru, Inspektur Jenderal Tito Karnavian, setuju apabila di Indonesia berdiri pusat detensi atau penjara khusus teroris.
"Sebenarnya tergantung. Kalau untuk teroris-teroris yang garis keras, tidak bisa berubah sama sekali, saya rasa perlu ada penjara maximum security seperti itu," ujar Tito setelah dilantik di Istana Negara, Rabu, 16 Maret 2016.
Tito menyatakan pusat detensi itu akan membatasi gerak teroris-teroris yang ditahan di dalamnya. Selain itu, komunikasi mereka akan dibatasi, agar para tahanan tidak melakukan konsolidasi kekuatan untuk merencanakan serangan.
Menurut Tito, penjara-penjara yang menampung teroris sekarang masih belum cukup bagus. Nyatanya, lembaga pemasyarakatan yang seharusnya merehabilitasi atau membuat jera teroris malah menjadi tempat konsolidasi kekuatan.
"Bayangkan, saya pernah menangani operasi militer di Aceh. Itu semua dikoordinasikan dari LP Cipinang oleh Abu Bakar Ba’asyir , Wawan Rois, dan Dul Matin. Bom Tharim direncanakan dari Nusa Kambangan," ucapnya.
Kepala BNPT sebelumnya, Saud Usman Nasution, pernah menuturkan sebuah konsep penjara khusus teroris sudah ia godok. Penjara itu, kata dia pada Februari lalu, untuk teroris-teroris yang kooperatif.
Saud menjelaskan, teroris yang kooperatif adalah mereka yang sudah memutuskan keluar dari paham radikalisme dan siap membantu penegak hukum mencegah terorisme. Kalau tidak dipisahkan dari teroris yang masih radikal, ucap Saud, mereka bisa terancam.
"Idenya datang dari terpidana teroris yang ingin memisahkan diri dari kelompoknya. Enggak akan jadi 'universitas' teroris. Toh, mereka akan dipantau terus oleh sipir khusus," ujar Saud.
Universitas teroris adalah istilah yang diberikan Wakil Presiden Jusuf Kalla soal penjara khusus teroris.
ISTMAN M.P.