TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Divisi Humas Mabes Polri Inspektur Jenderal Anton Charlian mengklaim tak ada pelanggaran hak asasi manusia dalam peristiwa tewasnya terduga teroris asal Klaten, Siyono. “Dalam kasus ini, tidak ada pelanggaran HAM karena yang dipukul pertama kali adalah polisi,” katanya di Mabes Polri, Selasa, 15 Maret 2016.
Anton mengatakan hasil penyelidikan Profesi dan Pengamanan (Propam) menyatakan pemeriksaan sudah sesuai dengan prosedur. Masalahnya, ujar dia, semua anggota teroris punya jiwa pemberontak. “Tunjukkan, kasus mana teroris yang tidak melawan,” ucapnya.
Sementara itu, Kepala Divisi Propam Polri Inspektur Jenderal Mochammad Iriawan mengatakan, dari hasil penyelidikan sementara, pihaknya menemukan ada indikasi kesalahan pihak berwenang dalam menjalankan prosedur. Sebab, anggota Densus 88 yang membawa Siyono tidak memborgolnya.
Padahal, kata Iriawan, seharusnya terduga teroris tetap diborgol dalam keadaan apa pun selama proses pemeriksaan berlangsung. “Kami akan lakukan prarekonstruksi,” katanya. Selain itu, ia mempertanyakan kenapa hanya ada satu orang yang mengawal teroris di kursi belakang mobil. Padahal, dia berujar, seharusnya minimal dua orang duduk di belakang.
Polisi setempat, kata Iriawan, beralasan saat itu mereka kekurangan anggota. Anggota polisi sudah disebar di beberapa titik untuk patroli dan lainnya. Karena jaraknya dekat dan Siyono sudah dianggap kawan, mereka mempercayakan terduga teroris dikawal oleh satu orang.
Siyono adalah terduga teroris yang tewas dalam pemeriksaan pada Jumat lalu. Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri Brigadir Jenderal Agus Rianto mengatakan Siyono tewas akibat kelelahan setelah berkelahi dengan Densus 88 di dalam mobil.
Lelaki 33 tahun itu ditangkap anggota Detasemen Khusus 88 Antiteror seusai menunaikan salat magrib di masjid sebelah rumahnya pada Selasa pekan lalu. Pada Jumat siang, ayah lima anak itu dikabarkan meninggal saat proses pemeriksaan oleh penyidik Densus 88.
MAYA AYU PUSPITASARI