TEMPO.CO, Jakarta - Mustofa B. Nahrawardaya, pengamat terorisme, menganggap pemerintah perlu mengaudit total kinerja satuan khusus anti-terorisme atau yang lebih dikenal dengan Detasemen Khusus 88 Antiteror. Dia mengatakan kinerja Densus 88 belakangan menjadi sorotan akibat arogansi yang ditunjukkan.
"Saya tentu tidak percaya jika pengawalan dari Densus yang memiliki standar baku memborgol tangan dan kaki bisa membuat Siyono melawan," kata Mustofa dalam siaran pers yang diterima Tempo, Ahad, 13 Maret 2016. "Boro-boro berkelahi. Terduga menggerakkan tangan saja, kemungkinan sudah ditembak mati karena dianggap melawan."
Siyono, 39 tahun, seorang terduga teroris tewas dalam pemeriksaan pada Jumat lalu. Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri Brigadir Jenderal Agus Rianto mengatakan Siyono tewas akibat kelelahan setelah berkelahi dengan Densus 88 di dalam mobil.
Mustofa mengatakan kematian Siyono menyisakan sejumlah pertanyaan. Maka, kata dia, pemerintah perlu mengusut tuntas kejadian ini. "Jika perlu, audit total terhadap satuan khusus antiterorisme ini," kata dia. "Kenapa harus diaudit, karena kenaikan anggaran Rp 1,9 triliun untuk Densus 88, diakui Luhut Pandjaitan adalah untuk kenaikan gaji 400 anggota Densus, peremajaan alat, penguatan intelijen, dan sebagainya."
Pengurus Majelis Pustaka dan Informasi Pimpinan Pusat Muhammadiyah ini menganggap perlu evaluasi cara penggeledahan Densus 88. Dia menganggap banyak pelanggaran di lokasi penggerebekan, termasuk di TK Roudhatul Athfal Klaten beberapa waktu lalu. Penggeledahan, kata dia, tak patut dilakukan karena anak-anak TK sedang belajar di lokasi. "Jika fungsi intelijen akan ditingkatkan dengan kenaikan anggaran, cara-cara brutal seperti itu jelas tidak elok," katanya.
Perilaku Densus selama penggeledahan yang tanpa melihat situasi, selain menyebabkan anak-anak trauma, sangat berpotensi menimbulkan dendam kesumat yang tersimpan di benak para siswa. Cara-cara itu hanya akan melahirkan teroris baru di kemudian hari.
INGE KLARA SAFITRI