TEMPO.CO, Bandung - Anggota rombongan tim peneliti gerhana matahari total dari Institut Teknologi Bandung mempunyai kisah unik selama melakukan pengamatan di Poso, Sulawesi Tengah, Rabu, 9 Maret 2016. Direktur Observatorium Bosscha Mahasena Putra mengatakan ribuan orang hadir menyaksikan gerhana matahari.
“Massa banyak tapi tertib. Peneliti berbaur di sana,” kata Mahasena saat dihubungi Tempo, Rabu, 9 Maret 2016. Menurut dia, beberapa peneliti mengaku takjub dan merinding saat gerhana matahari total terjadi. Bahkan ada peneliti yang menjumpai spesies burung yang sudah jarang terlihat.
Rombongan tim peneliti gerhana matahari total dari Institut Teknologi Bandung berangkat ke Poso pada 4 Maret 2016. Selain astronom, ada peneliti yang ingin mengamati perilaku satwa saat terjadi gerhana matahari total di sana. Rombongan bergabung dengan peneliti dari instansi atau lembaga lain di lokasi pengamatan Lapangan Kalora.
Ketika terjadi totalitas gerhana matahari, Mahasena merasa takjub dengan pemandangan di langit. Saat melihat kembali ke bumi pada suasana sekitar, suasana lain menyergap. “Ribuan orang terdiam, jadi merinding saya,” ujarnya.
Ini merupakan kali kedua dia melihat fenomena gerhana matahari total. Pada 1983, Mahasena, yang masih berstatus pelajar Sekolah Menengah Atas di Yogyakarta, mengaku melihat gerhana dari halaman rumah.
“Dulu suasananya juga sepi. Saya lihat sendirian karena keluarga yang lain pada takut. Sama juga luar biasanya yang dulu dan sekarang,” kata Mahasena.
Peneliti dari Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati ITB, Achmad Sjarmidi, mengatakan, untuk gerhana matahari total kali ini, timnya mengamati kelelawar atau kalong secara visual. Adapun pada jenis burung secara audio, dan pada katak serta serangga pengamatan secara audiovisual. Pada gerhana 1983, dia juga meneliti gangguan perilaku hewan.
Menurut Achmad, pengamatan saat terjadi gerhana kali ini berjalan lancar. Misalnya, pada burung gagak Sulawesi, kuskus, dan sebuah spesies burung yang jarang terlihat. “Burung manyar kami lihat di sini. Dulu gampang ditemui pada pohon kelapa, sekarang sudah susah,” katanya.
Soal hasil risetnya sementara, Achmad mengatakan belum bisa menyebutkan karena tim masih harus mengolah data. “Hipotesis umum dengan gangguan perilaku satwa yang terjadi tidak terlalu menyimpang,” ujarya.
ANWAR SISWADI