TEMPO.CO, Makassar - Kepala Kepolisian Resor Kota Besar Makassar Komisaris Besar Rusdi Hartono mengatakan pihaknya telah mengungkap sindikat bandar sabu-sabu. Polisi, kata dia, menangkap empat orang bandar sabu-sabu, yakni Zulkarnaen, 40 tahun, Rusli (50), Kasman (19), dan Andra (42).
Rusdi mengatakan keempat orang itu merupakan satu jaringan bandar sabu-sabu di Sulawesi Selatan yang menerima pasokan barang haram tersebut dari Malaysia. Ia menyebutkan, dari keempat orang itu, disita 700 gram sabu-sabu yang dikemas dalam 14 paket.
Menurut Rusdi, sebenarnya sabu-sabu tersebut berjumlah 1 kilogram. Dari pengakuan mereka, kata dia, sebagian sabu-sabu telah laku terjual. “Saat ini kami masih memburu seorang bandar lainnya berinisial YY,” kata Rusdi saat mengekspose tersangka dan barang bukti kasus itu kemarin.
Rusdi menjelaskan, terbongkarnya sindikat ini berawal dari tertangkapnya seorang kurir bernama Andi Lolo pada 1 Februari lalu. Ia diringkus saat menjemput sabu-sabu seberat 1 kilogram dari Malaysia di tempat jasa pengiriman barang di Jalan Pengayoman, Kecamatan Panakkukang, Makassar.
Rusdi mengatakan Zulkarnaen, yang merupakan warga Parepare, ditangkap di rumah kontrakannya di Jalan Zebra Malioboro, Palu, Sulawesi Tengah pada Jumat pekan lalu. Rusli dan Kasman diringkus di salah satu hotel di Jalan Urip Sumoharjo, Makassar. Sedangkan Andra diringkus di Pelabuhan Parepare beserta barang bukti berupa 200 gram sabu-sabu yang dikemas dalam empat paket.
Menurut Rusdi, mereka mengaku bubuk haram tersebut diperoleh dari Kabupaten Pinrang. Barang tersebut berasal dari seorang bandar berinisial YY di Kalimantan. “Saat tim ke Pinrang, YY sudah melarikan diri, dan saat ini sedang diburu petugas,” katanya.
Keempat bandar tersebut saat ini sudah diamankan di Markas Polisi Resor Kota Besar Makassar untuk menjalani penyelidikan lebih lanjut. Tersangka Andra mengaku terpaksa menjalankan bisnis haram itu karena desakan ekonomi. Pekerjaan sehari-harinya sebagai penjual sate di Pelabuhan Parepare tidak mampu memenuhi kebutuhan istri dan tujuh anaknya. “Saya terpaksa, untuk tambahan kebutuhan hidup,” ujarnya.
SAHRUL ALIM