TEMPO.CO, Jakarta - Juru bicara Presiden, Johan Budi S.P., mengungkapkan bahwa kasus-kasus pelanggaran berat hak asasi manusia masih boleh disidangkan selama ada fakta atau bukti lengkap.
"Beberapa waktu yang lalu juga sudah disampaikan Menkopolhukam bahwa kalau ada bukti-buktinya, boleh dibawa ke pengadilan," ujar Johan di Kompleks Istana Negara, Rabu, 2 Maret 2016.
Namun, jika memang tidak ada bukti, Johan mengatakan kasus-kasus itu akan diselesaikan dengan langkah rekonsiliasi. Meski begitu, langkah teknisnya masih dibahas di Kejaksaan Agung.
Sejauh yang Johan tahu, rekonsiliasi tersebut akan mengikutkan penggantian kerugian yang dialami korban-korban kejahatan HAM. Selain itu, ada juga pemulihan nama baik bagi mereka. Belum diketahui apakah rekonsiliasi itu akan mengikutkan pengungkapan fakta atau tidak. "Saya belum tahu teknis-teknisnya bagaimana. Kejaksaan Agung lebih tahu," ujarnya.
Dalam rancangan rekonsiliasi yang dimiliki Kejaksaan Agung, rekonsiliasi akan dilakukan Komite Rekonsiliasi yang bertanggung jawab kepada Presiden Joko Widodo. Adapun empat langkah rekonsiliasi yang diterapkan komite itu meliputi pengakuan peristiwa pelanggaran HAM, permintaan maaf, penjaminan peristiwa pelanggaran tak terulang, dan pemberian kompensasi.
Dalam rancangan tersebut, tak sekalipun disinggung pengungkapan fakta. Hal ini membuat Komnas HAM ragu rekonsiliasi bisa berjalan. Sebabnya, di negara manapun, rekonsiliasi berjalan dengan pengungkapan fakta, terutama siapa pemicu pelanggaran HAM itu.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) malah meyakini Kejaksaan Agung memang ingin meniadakan proses hukum dalam penyelesaian pelanggaran HAM. Surat yang dikirimkan Kontras ke Kejaksaan Agung dibalas dengan pernyataan alat bukti kasus-kasus HAM di masa lalu tak lengkap.
Setidaknya tujuh kasus pelanggaran HAM berat yang sedang ditangani kejaksaan. Ketujuh kasus itu adalah Trisakti, Semanggi 1, Semanggi 2, Wasior, Talangsari, kasus 1965, dan penembakan misterius (petrus).
ISTMAN M.P.