TEMPO.CO, Tegal - Nelayan di Kota Tegal, Jawa Tengah, tak melaut lantaran cuaca buruk. Mereka tak mau ambil risiko menghadapi laut yang sedang murka. "Sudah satu bulan ini enggak berangkat," kata Tasmin, 40 tahun, nelayan di pelabuhan Muarareja, Kota Tegal, Ahad, 28 Februari 2016.
Menurut Tasmin, saat awal musim hujan, nelayan termasuk dia nekat melaut. Bukannya untung, mereka malah tekor. Modalnya juga banyak. Untuk bekal anak buah kapal hingga operasional kapal mereka harus merogoh kocek Rp 50 juta sekali melaut. Namun hasilnya tak lebih dari Rp 25 juta.
Saat melaut selama sebulan, mereka memburu ikan remang dengan hasil tangkapan empat ton. Kini mereka hanya mendapat delapan kuintal. "Satu ton saja tak ada. Lagi sepi," katanya.
Di pelabuhan Muarareja, ratusan kapal bersandar di tepian. Sebagian nelayan asyik bersantai di atas kapal, sebagian lagi sibuk memperbaiki komponen kapal yang rusak. "Daripada rugi mending di sini saja," kata Tohar, 30 tahun. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dia pun berutang. Tak ada pekerjaan yang bisa dia lakoni selain mencari ikan.
Tahun sebelumnya, nelayan pernah berjaya saat musim hujan Januari-Februari seperti saat ini. Mereka tak terpengaruh cuaca buruk, karena yang mereka cari rajungan atau kepiting. Saat itu harganya Rp 90 ribu per kilogram.
Namun, sejak pemerintah membatasi ekspor kepiting pada akhir 2015, harga kepiting terjun bebas: Rp 25 ribu per kilogram. Nelayan pun mencari tangkapan lain. "Kepiting saat musim seperti ini sebenarnya banyak, tapi sekarang harganya murah. Mending cari yang lain."
Warmih, 42 tahun, tengkulak di pelelangan ikan Muarareja, mengaku tak lagi membeli kepiting nelayan. Dia mengolah ikan asin. "Dulu enak. Saya beli ke nelayan langsung jual, untungnya besar. Sekarang (ikan asin) harus diolah dulu. Prosesnya lebih lama, untungnya kecil," katanya.
MUHAMMAD IRSYAM FAIZ