TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana Sutopo Purwo Nugroho mengatakan 69 hotspot atau titik api kebakaran hutan dan lahan terdeteksi di beberapa wilayah. “Itu hasil pantauan satelit Modis dengan sensor Terra dan Aqua pada hari ini,” kata Sutopo melalui siaran persnya yang diterima Tempo, Sabtu, 27 Februari 2016.
Sutopo menuturkan 69 titik api itu tersebar di Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Papua, Sulawesi Selatan, Aceh Selatan, Riau, dan Sumatera Utara. Titik api di Kalimantan Timur, khususnya di Kutai Kartanegara dan Kutai Timur, sudah terpantau dalam dua minggu terakhir.
Di Kalimantan Timur, terdapat 38 titik api yang berada di Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kutai Timur, dan satu titik api terdeteksi di Kalimantan Utara. Di wilayah Papua terdapat dua titik api dan di Sulawesi Selatan ada empat titik api.
Sejumlah titik api juga ditemukan di Sumatera. Aceh Selatan, misalnya, ditemukan tiga titik api dan Riau 14 titik api. Di Sumatera Utara terdapat enam titik api. “Hampir semuanya akibat dibakar atau disengaja untuk pembersihan lahan.”
Ia pun memberi contoh kebakaran lahan lima hektare di Desa Muhurun, Kecamatan Kenohan, Kutai Kartanegara, 30 Januari lalu. Kebakaran lahan sengaja dilakukan untuk membuka lahan baru. “Bahkan kebakaran di sekitar areal hutan lindung di Bontang pada 20 Februari 2016 menyebabkan tiga orangutan terbakar,” ujarnya.
Sutopo mengatakan tak mungkin menihilkan seluruh wilayah Indonesia dari titik api. Sebab, tak mungkin suatu wilayah bebas mutlak dari kebakaran hutan dan lahan. Pembakaran hutan dan lahan sangat berkaitan dengan mata pencaharian, perilaku masyarakat, lemahnya penegakan hukum, politik lokal, dan masalah sosial lainnya.
“Tak mungkin hanya dilarang, tapi harus diberikan solusi praktis karena berkaitan dengan ekonomi dan mata pencahariannya,” ucap Sutopo.
Sutopo menganggap kebakaran hutan dan lahan yang terjadi saat ini adalah kesempatan untuk menerapkan semua strategi antisipasi.
Menurut Sutopo, kemarau di 2016 tak akan sekering tahun lalu karena adanya fenomena La Nina yang membuat musim kemarau relatif basah di Indonesia. “Musim hujan diperkirakan datang lebih awal dan intensitas hujan lebih tinggi pada musim penghujan 2016-2017. Kondisi ini tentu memudahkan kita dalam upaya antisipasi kebakaran hutan dan lahan,” kata Sutopo.
DIKO OKTARA