TEMPO.CO, Bandung - Sebanyak 2.500 orang pelajar dan guru Santo Aloysius dari tingkat sekolah dasar hingga sekolah menengah atas di Kota Bandung membuat baju batik sendiri untuk seragam sekolah.
Karya itu di antaranya membutuhkan kain mori sepanjang 7.000 meter, 5.000 buah canting, 1.000 kilogram lilin batik, dan 100 kilogram pewarna. Museum Rekor Indonesia mencatat ukiran prestasi baru itu sebagai seragam batik sekolah hasil karya siswa terbanyak.
Koordinator guru membatik di sekolah Santo Aloysius, Bandung, Rano Sumarno, mengatakan kain mori mereka datangkan dari Yogyakarta karena di Bandung sangat sedikit. Bahan membatik lainnya pun berasal dari Solo dan Yogyakarta.
“Dari Bandung hanya untuk beli 700 liter minyak tanah dan 250 tabung gas ukuran 3 kilogram,” katanya di sekolah seusai penghargaan rekor MURI, Senin, 22 Februari 2016.
Proses pengerjaan kain batik untuk seragam sekolah itu berlangsung di tiga lokasi sekolah yang tersebar di Kota Bandung. Waktunya dimulai Agustus hingga Desember 2015. “Prosesnya mengikuti pelajaran membatik di sekolah, sepekan sekali, selama 90 menit,” kata Rano.
Siswa sekolah dasar membatik di atas kain berukuran 1,5 meter persegi, siswa SMP membatik di atas kain berukuran 2 meter persegi, dan siswa SMA membatik di atas kain berukuran 2,5 meter persegi. Menurut Rano, bidang kain dibagi dua. Separuh atas bermotif lambang sekolah berupa bunga lili atau bakung putih, sedangkan separuh bawah merupakan kreasi batik tulis siswa.
Guru membatasi corak motif siswa dengan beberapa tema, seperti satwa, alam semesta, motif batik di Jawa, dan luar Jawa. “Kami minta siswa membuat kreasi ulang dari motif yang ada,” ujarnya. Setelah jadi, sekolah menyerahkan kain batik itu ke siswa untuk dijahit menjadi seragam sekolah.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jawa Barat Hening Widiatmoko mengatakan pembelajaran membuat batik di sekolah perlu ditularkan ke sekolah lain. Batik, menurut dia, tidak sekadar produk fashion, tapi mengandung nilai filosofis. Masalahnya, produksi batik di Jawa Barat kini bermasalah. Sebab, regenerasi pembatik jumlahnya sedikit. “Di beberapa daerah, pembatik cenderung berkurang dan pemakaian baju batik masih dianggap terbatas pada acara resmi,” katanya.
ANWAR SISWADI