TEMPO.CO, Jakarta - Komisioner Badan Pengawas Pemilu, Nelson Simanjuntak, mengaku menerima 1.000 laporan tentang politik uang dalam pilkada serentak, awal Desember 2015. “Yang ada laporannya sekitar 900 sampai 1.000,” kata Nelson saat kepada Tempo saat dihubungi pada Minggu, 21 Februari 2016.
Sayangnya, semua laporan itu tak bisa diteruskan ke tahapan selanjutnya. Sebab, menurut dia, tak ada ancaman hukuman dalam hal politik uang yang diatur dalam undang-undang. “Di beberapa daerah, mereka memakai pasal 149 KUHP dengan melapor ke polisi.”
Hambatan lain adalah adanya batas waktu pelapor yang diatur dalam peraturan. Durasi waktu yang sangat sempit untuk memproses laporan-laporan itu membuat semua pengaduan tersebut cepat kadaluarsa. Proses laporan tidak bisa tergesa-gesa karena harus dengan bukti yang cukup. “Jadi kadaluarsa itu,” ujarnya.
Ke depan, Nelson berharap, pembuktian kasus-kasus tindak pidana pemilu, seperti politik uang, tak dibatasi waktu yang sempit. Pendeknya jangka waktu pengolahan laporan seperti sekarang, menurut dia, cukup menyulitkan penyelidikan kasus itu. “Perlu bukti yang baik dan terverifikasi.”
Mengenai pembuktian pelanggaran, Nelson menjawab, semua proses pembuktian harus bersumber pada KUHAP. Karena itu, Bawaslu selalu bersikeras ada alat bukti yang cukup dan bisa diverifikasi untuk membuktikan ada tidaknya pelanggaran politik uang.
Untuk itulah Nelson mendesak DPR merevisi UU Pilkada. Dalam revisi itu, Bawaslu mengusulkan ada penambahan waktu penanganan sanksi pidana pemilu dan penambahan sanksi bagi calon-calon kepala daerah yang terbukti melakukannya. Nelson juga mengatur perihal sanksi pidana yang akan dipisahkan dengan sanksi administratif.
“Dari segi efek, pasangan calon lebih takut pada sanksi administratif karena bisa berujung pada pembatalan pencalonan,” ucap Nelson.
DIKO OKTARA