TEMPO.CO, Jakarta - Hartoyo, aktivis LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) mengatakan pihaknya tidak meminta pemerintah untuk melegalkan pernikahan sejenis. Menurut dia, kaumnya hanya meminta hak-hak dasar sebagai warga Negara dipenuhi.
"Kami memperjuangkan penghapusan kekerasan dan diskriminasi berbasis orientasi seksual. Bukan perjuangan legalitas pernikahan sesama jenis," kata Hartoyo usai diskusi bertajuk "LGBT, Beda tapi Nyata" di Warung Daun, Cikini pada Sabtu, 20 Februari 2016.
Menurut dia, pernikahan sesama jenis membutuhkan waktu yang lama untuk dapat direalisasikan. "Boro-boro mikir nikah. Hidup aman dan cari kerja aja susah," katanya.
Hak dasar lain yang diperjuangkan antara lain adalah hak kesehatan dan pendidikan. Hartoyo mengatakan hak kesehatan bisa berkaitan dengan kondisi kejiwaan kaum LGBT. Pemerintah harus membantu kaum LBGT menjadi dirinya sendiri. Pemerintah dinilai perlu mendengar pemikiran mereka. "Terlepas nanti apakah dia mau jadi gay atau hetero, itu terserah dia," kata Hartoyo.
Mengenai hak pendidikan, Hartoyo mengatakan kaum LGBT kerap kali sulit mendapatkan pendidikan. Penyebabnya bisa karena sekolah yang tak menerima anak LGBT atau lingkungan sekitar anak yang terus menekan. Perlakuan khusus dinilai Hartoyo perlu diberikan kepada kaum LGBT. "Misalnya dengan memberikan beasiswa," katanya.
Untuk mewujudkan perjuangannya, Hartoyo dan komunitasnya mengumpulkan data mengenai bentuk dan pola kekerasan. Nantinya, data tersebut akan diajukan ke DPR untuk dipertimbangkan sebagai landasan membuat aturan perundang-undangan yang baru.
Wakil Ketua Komisi VIII DPR Deding Ishak mengatakan tuntutan kaum LGBT terkait dengan pemenuhan hak dasar harus dipenuhi. "Mereka berhak atas hak-hak dasarnya sebagai warga negara," kata Deding. Ia juga setuju tak boleh ada diskriminasi terhadap kaum LGBT.
Deding mengatakan selama kaum LGBT hanya menyampaikan aspirasinya, tak akan ada larangan sama sekali. Namun jika komunitas tersebut mulai mempengaruhi, ditambahi lagi dengan muncul penolakan dari masyarakat, Deding mengatakan aktivitas komunitas tersebut dapat dinilai membahayakan.
Jika begitu, pemerintah tegas menolak keberadaannya. "Aktivitas komunitas tidak boleh bertentangan dengan Pancasila, seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2013," kata Deding.
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Natalius Pigai mengatakan pemerintah perlu membuat regulasi agar kaum LGBT mendapatkan hak dasar, pendidikan, pekerjaan, serta regulasi untuk mengurangi kekerasan terhadap mereka. "Pembentukan regulasi ini sebagai bentuk penghormatan kepada mereka sebagai warga Negara Indonesia," katanya.
Ia mengatakan kaum LGBT sudah diakui eksistensinya oleh negara. LGBT dikategorikan sebagai kelompok minoritas seperti tertuang dalam regulasi di Kementerian Sosial Nomor 8 Tahun 2004.
Meski begitu, Pigai menyatakan menolak pernikahan sesama jenis. "Kalau pernikahan, bagi saya itu terlalu jauh. Tapi penghormatan dan pengajuan eksistensi bagi mereka itu penting," kata Natalius.
VINDRY FLORENTIN