TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla dinilai tidak berpihak ke petani yang telah berjuang sangat keras untuk memenuhi kebutuhan pangan di tahun-tahun sulit, terutama 2015, ketika terjadi bencana iklim El Nino.
Penilaian ini disampaikan Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) Dwi Andreas Santosa pada Kamis, 18 Februari 2016. Selama ini, Andreas selalu vokal menyuarakan kedaulatan pangan Indonesia.
Hal itu merujuk pada penetapan harga pembelian pemerintah (HPP) gabah/beras untuk tahun 2016 yang besarnya sama dengan 2015, yakni Rp 3.700 per kilogram.
Menurut Andreas, kebijakan itu berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2015. Pada Inpres tersebut, harga gabah di petani ditetapkan Rp 3.700 per kilogram atau naik 12,1 persen dari HPP 2012, sedangkan beras naik 10,6 persen.
Penetapan HPP tersebut, kata Andreas, mencederai petani karena jauh di bawah inflasi yang naik sebesar 25,17 persen dalam 4 tahun terakhir (2012-2015).
Dia menilai, pemerintah tidak berpihak ke petani yang telah berjuang sangat keras untuk memenuhi kebutuhan pangan di tahun-tahun sulit, terutama pada 2015.
"Penetapan HPP tersebut juga bermakna, petani diminta semakin miskin untuk menjaga harga beras yang rendah di tingkat konsumen," kata Andreas yang menjabat guru besar Fakultas Pertanian IPB.
Andreas menjelaskan, pada kenyataannya, tidak ada keterkaitan antara HPP dan harga beras di tingkat konsumen. Harga beras yang sangat tinggi pada 2015 dan awal 2016 bukan disebabkan oleh kenaikan HPP. "Tapi karena kesalahan tata kelola pangan yang mengandalkan data produksi yang tidak akurat," katanya.
Buruknya tata kelola pangan tersebut telah merugikan konsumen dan petani. Berdasarkan hal tersebut, AB2TI memohon kepada Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk meninjau ulang kebijakan penetapan HPP 2016. "Kami mengusulkan penetapan HPP gabah di tingkat petani sebesar Rp 4.130 per kilogram," katanya.
Dia mengingatkan Presiden Joko Widodo untuk tidak mengulangi kebijakan pemerintahan sebelumnya yang menganaktirikan petani kecil. Hal itu terlihat dari pola piramida struktur pertanian dan pangan yang ada saat ini.
Pada posisi tersebut, di puncak piramida bertengger agrobisnis, produsen benih dan input pertanian, pertanian korporasi, pertanian kapitalistik, dan spekulan pangan. Jumlah mereka tidak lebih dari 500 ribu orang.
Sejak rezim Presiden Soeharto hingga saat ini, mereka mendapatkan akses dan fasilitas mewah dari pemerintah. Adapun di dasar piramida tersusun dari 26,13 juta keluarga petani kecil atau 91 juta jiwa.
Puncak piramida tersebut menekan ke bawah dan menyebabkan 5,1 juta keluarga petani kecil tercerabut dari lahan mereka dalam 10 tahun terakhir dan menjadi penyusun masyarakat miskin kota.
Andreas berharap, Presiden Joko Widodo melakukan perubahan radikal dengan membalikkan piramida tersebut sehingga petani kecil dan pertanian keluarga menduduki posisi teratas.
Hak dan kedaulatan petani dijamin, porsi kue pembangunan untuk mereka ditingkatkan, serta akses terhadap sumber daya produktif, terutama tanah, diberikan.
Para petani kecil, kata Andreas, saat ini sudah menyumbang 1,9 juta varietas tanaman untuk umat manusia. Angka tersebut jauh lebih besar daripada yang dibuat perguruan tinggi, lembaga riset, dan perusahaan benih, yang hanya sekitar 80 ribu varietas tanaman.
"Mereka juga mengembangkan berbagai teknologi pertanian dan kearifan lokal. Petani kecil juga yang saat ini memberi makan 70 persen penduduk dunia," kata Andreas yang sejak puluhan tahun lalu mendampingi petani di AB2TI.
"Dengan demikian, perubahan orientasi kebijakan yang meningkatkan hak, kedaulatan, dan kesejahteraan petani kecil akan berujung pada terangkatnya kita bersama dari jurang bencana pangan," ucapnya.
UNTUNG WIDYANTO