TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah majelis agama menyatakan kaum lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) harus dilindungi dari perilaku diskriminatif. Walau menyatakan bahwa aktivitas LGBT bertentangan dengan agama, tapi mereka menganggap kaum LGBT tetap harus dipenuhi haknya sebagai warga negara.
"Pemerintah diajak untuk bijaksana mengajak masyarakat agar tidak mudah terprovokasi, tidak mudah main hakim sendiri, kemudian menyudutkan, mengorbankan, apalagi tindak-tindak yang tidak baik terhadap kelompok LGBT ini," kata Romo PC Siswantoko dari Konferensi Waligereja Indonesia, dalam pernyataan sikap yang diadakan di gedung Majelis Ulama Indonesia, Jakarta Pusat, Kamis, 18 Februari 2016.
Hal senada juga diungkapkan Mpu Suhadi Sendjaja dari Perwakilan Umat Buddha Indonesia. Ia mengatakan cara pandang agama-agama akan melihat permasalahan LGBT ini dari perspektif kemanusiaan. "Nah, oleh karena itu, muncul di dalam pernyataan kami itu mereka pun patut diayomi, patut dilindungi tapi tidak dibenarkan," katanya.
Dalam salah satu poin pernyataan sikap yang ditandatangani keempat majelis agama, terdapat poin yang berbunyi, "Sebagai warga negara, pelaku LGBT pantas dilindungi dari tindakan kekerasan dan disembuhkan atau direhabilitasi."
Romo menyatakan selalu ada kesempatan bagi kaum LGBT untuk sembuh. Yang perlu diubah adalah perspektif masyarakat dalam memandang mereka. Karena saat ini, menurut dia, masyarakat masih menganggap LBT sebagai hal yang harus dijauhi. Mengubah perspektif, menurut dia, bisa dilakukan dengan membiasakan diri dalam lingkungan terdekat, mulai dari gereja, sekolah, hingga keluarga.
"Mereka merupakan orang yang sakit dan butuh disembuhkan, mereka orang yang terkucilkan dan butuh teman," kata Romo Siswantoko.
Pernyataan sikap ini ditandatangani dan disepakati sejumlah majelis agama, yang terdiri atas Majelis Ulama Indonesia (MUI), Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi), serta Majelis Tinggi Agama Konghuchu Indonesia (Matakin).
EGI ADYATAMA