TEMPO.CO, Jakarta - Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan berkukuh ingin mengubah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tidak Pidana Korupsi. Menurut Wakil Ketua Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Dewan Perwakilan Rakyat Hendrawan Supratikno, fraksinya hanya akan merevisi UU KPK dengan selektif.
"Sekali lagi, itu pilihan. Mau tidak berubah atau ada perubahan besar-besaran, terserah. PDIP ingin melakukan perubahan dengan selektif," ujar Hendrawan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada Kamis, 18 Februari 2016.
Anggota Badan Legislasi itu mengatakan, apabila revisi UU KPK jadi dibahas, fraksinya akan berfokus pada empat poin revisi yang terdapat dalam draf revisi. "Kalau melebar, nanti bisa kembali ke naskah akademik lama yang ada 13 poin revisi," ucapnya.
Hendrawan pun menegaskan, revisi UU KPK harus dilakukan, agar lembaga antirasuah itu tidak memiliki kewenangan yang berlebihan. "Ada referensi dari Mahkamah Konstitusi di bawah Jimly Ashidiqie pada 2006 bahwa KPK berada di luar sistem ketatanegaraan, sehingga kewenangannya tidak boleh mengurangi kewenangan kejaksaan dan kepolisian," katanya.
Pada 10 Februari lalu, Badan Legislasi telah meminta pandangan fraksi mengenai revisi UU tersebut. Dalam rapat itu, hanya Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya yang menolak revisi tersebut. Namun belakangan, Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera juga menolak revisi itu. Pekan depan, revisi UU KPK diputuskan dilanjutkan atau tidak pembahasannya dalam rapat paripurna.
Dalam draf revisi UU KPK yang baru, terdapat empat poin yang akan direvisi. Poin-poin yang akan direvisi terkait dengan penyadapan, dewan pengawas, penyelidik dan penyidik independen KPK, serta pemberian kewenangan penerbitan surat perintah penghentian penyidikan (SP3).
ANGELINA ANJAR SAWITRI