TEMPO.CO, Malang — Rencana Kepolisian Cina mengotopsi jenazah Eka Suryani, tenaga kerja wanita yang meninggal di Negeri Tirai Bambu, ditolak oleh pihak keluarga. Sebelumnya warga Dusun Mulyosari RT 22/RW08, Desa Mulyosari, Kecamatan Donomulyo, Kabupaten Malang, Jawa Timur yang bekerja di Hong Kong itu ditemukan tewas di Fujian, Cina, Sabtu, 23 Januari 2016.
“Kami menolak. Karena kalau diotopsi di Cina, organ-organ tubuh jenazah istri saya harus ditinggal di sana,” kata Indra Teguh Wiyono, suami Eka, yang menghubungi Tempo, Selasa pagi, 16 Februari 2016.
Pria 26 tahun ini meminta otopsi jasad istrinya dilakukan di Indonesia karena dianggap lebih manusiawi dan hasilnya bisa lebih dipercaya. “Yang terpenting bagi kami sekarang jenazahnya bisa dipulangkan,” ujar Indra.
Penolakan Indra sejalan dengan permintaan Marjenab, aktivis Jaringan Buruh Migran Indonesia (JBMI) di Hong Kong. Pemerintah Indonesia diharapkan melakukan otopsi independen agar hasilnya bisa lebih dipercaya.
Kuasa hukum Indra Teguh, Bakti Riza Hidayat, mengatakan kliennya keberatan bila sebagian organ tubuh Eka harus ditinggal di Cina untuk keperluan otopsi. “Kemarin kami dihubungi Kementerian Luar Negeri. Kami sudah sampaikan beberapa hal yang harus diperhatikan dan diurus Kemenlu,” kata Bakti.
Menurut bekas aktivis Lembaga Bantuan Hukum Surabaya Pos Malang itu pihak keluarga meminta pemerintah membantu agar sisa dua bulan gaji Eka dibayar penuh. Sebab gaji tersebut masih ditahan majikan dan agennya. Keluarga juga meminta pemerintah menguruskan pembayaran asuransi baik asuransi yang dibayarkan di Indonesia maupun di Hong Kong.
Pihak keluarga meminta agar kantor perwakilan diplomatik Indonesia di Guangzhou dan Hong Kong mengusut penyebab kematian Eka. “Keluarga masih menganggap Eka meninggal secara tidak wajar bila melihat foto luka dan percakapan terakhir di WA (WhatsApp),” ujar Bakti.
Pemerintah pun diminta memfasilitasi proses otopsi dengan menanggung biaya otopsi karena keluarga Eka tak sanggup membiayainya. “Kami juga meminta pertanggungjawaban pemerintah untuk lebih aktif dan protektif terhadap para TKI kita di luar negeri,” kata Bakti.
Eka Suryani berangkat ke Hong Kong pada 24 Juni 2015, dua bulan setelah menjalani karantina di tempat penampungan milik PT Surabaya Yudha Citra Perdana (SYCP) di kawasan Sawojajar, Kota Malang. Kedatangan Eka di Hong Kong diurus AIE Employment Center, mitra kerja SYCP di wilayah administratif khusus Republik Rakyat Cina tersebut.
Dua bulan sebelum meninggal Eka diajak majikannya ke Fujian dan diperkerjakan di proyek pembangunan hotel milik sang majikan. Padahal, rencananya Eka hanya diajak berlibur menyambut Tahun Baru Cina alias Imlek di Fujian. Selama di Cina, Eka tinggal sendirian di rumah lama milik majikan.
Informasi yang diperoleh Tempo dari Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Guangzhou, Eka bekerja sebagai pembantu rumah tangga di keluarga Tai Yuk Mui, yang beralamat di HSE 10 Peak House Tung Lo Wan Shan, Shatin, Hong Kong. Sedangkan rumah majikannya berada di zona industry Xin Yu Ting, Luodong.
ABDI PURMONO