TEMPO.CO, Malang--Mujianto, pemilik rumah yang tertimpa pesawat Super Tucano TT 3108, belum memutuskan untuk melepas lahannya sebagai monumen seperti permintaan TNI Angkatan Udara. Rumah beralamat di Jalan L.A. Sucipto Gang 12 Nomor 8, Blimbing, Kota Malang ini telah diratakan dengan tanah untuk memudahkan evakuasi bangkai pesawat.
"Kami belum sepenuhnya menyetujui, masih akan berembug dengan keluarga," kata Mujianto, Jumat, 12 Februari 2016.
Meski Komandan Pangkalan Udara Abdulrachman Saleh Marsekal Pertama Djoko Senoputro telah menemui dan berharap lahannya dijual kepada TNI Angkatan Udara, Mujianto belum bisa bersikap. Djoko bersama Mujianto sempat melihat-lihat kondisi bangunan rumah berlantai dua yang telah dirobohkan.
Jika setuju dibeli, katanya, sebagian tanah bakal diwakafkan untuk pelebaran musala di samping rumahnya. Setelah itu petugas akan menghitung harga yang pantas untuk rumah itu. Kini Mujianto sementara menumpang di rumah tetangganya bersama anaknya, Farizki Jati Ananto.
Di lokasi kejadian sudah tak banyak petugs TNI Angkatan Udara dan polisi yang berjaga. Jalan masuk gang juga bebas, warga bisa keluar masuk tanpa pengawasan ketat. Saat kejadian Rabu 10 Februari 2016, seluruh akses jalan masuk ditutup. Termasuk jalan raya di depan perkampungan padat penduduk tersebut.
Sebelumnya Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal Agus Supriatna menjelaskan rumah dan lahan bakal dibeli. TNI Angkatan Udara bakal memberikan ganti rugi terhadap korban warga sipil. Selanjutnya bakal dibangun monumen peringatan jatuhnya Super Tucano.
Pesawat Super Tucano jatuh menewaskan empat orang, terdiri dari dua warga sipil, pilot dan juru mesin udara. Satu di antara korban sipil ialah istri Mujianto. Pesawat dibeli dari pabrikan Embraer Defence and Security Brazil empat tahun lalu. TNI Angkatan Udara memiliki 12 unit dari total 16 unit yang dipesan senilai Rp 1,3 triliun.
EKO WIDIANTO