TEMPO.CO, Boyolali - Sejumlah petugas di Posko Terpadu Asrama Haji Donohudan Kabupaten Boyolali tampak kaget saat mendengar kisah dari Rendy Volta, 25 tahun, seorang pengunjung yang hendak menjemput istrinya pada Rabu, 3 Februari 2016.
Sebab, lelaki muda berkacamata dan berpakaian rapi asal Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta itu mengatakan istrinya hanyalah korban “salah tangkap” saat proses pemulangan para pengikut Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat.
“Dia (Rendy) bilang saat itu istrinya hanya menonton proses pemulangan pengikut Gafatar. Karena tidak membawa kartu identitas, istrinya (Reni Asih) ikut terjaring dan akhirnya juga ditampung di sini,” kata Kepala Bagian Pendidikan Pemuda dan Olahraga Biro Bina Mental Sekretariat Daerah Jawa Tengah, Suharyanto.
Kendati demikian, Suharyanto tetap tidak mengizinkan Rendy menjemput Reni. Sebab, dia mengatakan, semua warga yang ditampung di Asrama Haji Donohudan hanya boleh dijemput oleh tim Kesatuan Bangsa dan Politik dari pemerintah daerah asal masing-masing.
Meski sudah menikah dengan Rendy sejak 1,5 tahun lalu dan sempat bermukim di Jogja, Reni masih terdata sebagai penduduk Kabupaten Tegal. “Biar Kesbangpol Jawa Tengah konfirmasi dulu ke Kesbangpol Tegal. Kami tidak bisa seenaknya mengizinkan mereka yang di sini dijemput keluarganya,” kata Suharyanto.
Kepada Tempo, Rendy mengaku warga asli Samarinda, Kalimantan Timur. Namun, dia sudah lama tinggal di Jogja sejak kuliah hingga menikah dan bekerja. “Saya dan istri sudah lama berencana menetap di Samarinda. Tapi istri saya berangkat duluan pada akhir Desember lalu,” kata Rendy.
Sesampainya di Samarinda, Rendy berujar, Reni memutuskan ke Ketapang untuk bekerja di suatu perusahaan swasta. Di Ketapang, Reni menumpang di rumah Tomo. Tomo adalah warga Kabupaten Sleman yang juga baru pindah ke Ketapang. “Pak Tomo itu dulu pemilik kos yang ditinggali istri saya semasa kuliah di Jogja,” ujar Rendy.
Tomo pindah ke Ketapang bersama istri dan dua anaknya sekitar tiga bulan lalu. “Di sana ayah bekerja sebagai penjahit dan juga menggarap lahan pertanian,” kata anak Tomo, Fian. Namun, Fian mengaku keluarganya bukan termasuk pengikut Gafatar. “Memang rumah kami cukup dekat dengan perkampungan mereka (Gafatar). Tapi kami juga ikut dibawa ke sini,” kata Fian.
Sama dengan Fian, Rendy juga menyatakan istrinya bukan pengikut Gafatar. “Di Ketapang dia kerja di bagian pemasaran,” katanya. Dia menambahkan, istrinya memang tidak membawa KTP karena sedang dalam proses mengurus surat keterangan pindah dari Tegal ke Samarinda.
Rendy menyesalkan pihak pemerintah yang dinilai asal mengangkut istrinya ke Jawa karena dianggap sebagai pengikut Gafatar. “Mustinya mereka mendengar penjelasan istri saya dulu. Sekarang kami jadi ikut repot. Masak istri saya harus dipulangkan ke Tegal dulu baru kemudian saya menjemputnya untuk sementara tinggal di Jogja lagi,” kata Rendy.
DINDA LEO LISTY