TEMPO.CO, Jakarta - Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Greenpeace Indonesia, dan sejumlah lembaga swadaya masyarakat ternama tidak diundang untuk mengisi booth pameran di Festival Iklim yang digelar Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 1-4 Februari 2016.
"Kami tidak diberikan fasilitas booth dalam acara tersebut, hanya diundang sebagai pembicara di acara seminar saja," kata Khalisah Khalid, aktivis Walhi, Selasa, 2 Februari 2016.
Greenpeace Indonesia juga tidak diundang untuk memamerkan aktivitasnya di Festival Iklim yang berlangsung di Jakarta Convention Center, Senayan, Jakarta.
Tak hanya itu, undangan untuk Greenpeace sebagai pembicara seminar belakangan dibatalkan tanpa alasan yang jelas. "Mungkin kami dianggap terlalu kritis," kata Muhammad Teguh Surya, Juru Kampanye Hutan, Greenpeace.
Direktorat Jenderal Pengendali Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Nur Masripatin membantah pihaknya menolak kehadiran Greenpeace dan Walhi. "KLHK tidak mem-black list siapa-siapa," katanya.
Dirjen Pengendali Perubahan Iklim, KLHK, memang menjadi pelaksana Festival Iklim yang bertema 'Di Bawah 2 Derajat, untuk Kesejahteraan Rakyat dan Generasi Mendatang’. Hajatan ini berisi pameran, seminar, diskusi interaktif, dan aneka lomba bagi generasi muda.
Acara ini dibuka Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution, yang dihadiri Menteri Lingkungan Hidup Siti Nurbaya dan Stig Traavik, Duta Besar Kerajaan Norwegia untuk Indonesia, dan pimpinan UNDP Indonesia.
Festival yang menghabiskan dana miliaran rupiah ini mengundang kementerian, lembaga, perguruan tinggi, dunia usaha, dan lembaga swadaya masyarakat. Dana itu berasal dari proyek REDD bantuan Kerajaan Norwegia.
Peserta pameran tidak dipungut biaya sewa booth. Padahal biasanya sewa booth di JHCC harganya jutaan rupiah per meter persegi. "Baru dua minggu lalu kami diminta mengisi festival ini secara gratis," kata pengelola booth dari Center for International Forestry Research (CIFOR) dan World Resources Institute (WRI).
Ada 70 booth dalam acara ini. Sayangnya, tak ada booth yang diisi oleh Walhi, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Warsi, Perkumpulan Pikul, Solidaritas Perempuan, Forest Watch Indonesia, IESR, dan lembaga swadaya masyarakat lain yang selama ini vokal dan peduli menyuarakan isu perubahan iklim.
Malahan terdapat dua booth untuk Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia. Tempo yang berkunjung menyaksikan booth itu didominasi materi dari perusahaan grup Asia Pulp and Paper (APP)/Sinar Mas milik taipan Eka Tjipta Wijaya dan grup APRIL milik taipan Sukanto Tanoto.
Kabarnya, satu hari menjelang pembukaan Festival Iklim, logo kedua perusahaan itu muncul. Setelah diprotes salah seorang petinggi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, akhirnya diturunkan dan diganti dengan banner Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia.
Petinggi itu marah karena gugatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terhadap PT Bumi Mekar Hijau dalam kasus pembakaran di lahan konsesinya di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, dikalahkan Pengadilan Negeri Palembang. PT Bumi Hijau Mekar adalah pemasok bahan baku pulp bagi grup perusahaan Sinarmas.
Kepala Biro Humas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Novrizal Tahar mengatakan pihaknya mengundang semua pemangku kepentingan, yakni pemerintah, masyarakat sipil, korporasi, akademisi, dan lainnya, termasuk Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI).
Menurut Novrizal, keberadaan APHI penting karena memiliki kontribusi langsung terhadap perubahan iklim dan tata guna lahan. "Kontribusi emisi dari deforestasi dan perubahan tata guna lahan sangat besar," katanya.
Khalisah Khalid menyayangkan tampilnya APHI (termasuk perusahaan APP dan APRIL) di Festival Iklim. Menurut dia, Festival Iklim 2016 ini mengulang tragedi Paviliun Indonesia pada saat COP 21 di Paris, 30 November sampai dengan 11 Desember 2015.
"Paviliun Indonesia justru didominasi korporasi pelaku pembakaran hutan dan lahan. Ini artinya, pemerintah memfasilitasi green washing," katanya. Green washing adalah pencitraan dengan menonjolkan upaya konservasi agar tuduhan kejahatan lingkungan pada perusahaan tersebut tidak muncul.
Pemerintah seharusnya memberikan kesempatan besar kepada civil society untuk tampil. Pemerintah, kata Khalisah, harus memfasilitasi inisiatif-inisiatif masyarakat di akar rumput untuk melakukan upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. "Karena mereka paling miskin, tak punya dana, dan paling rentan terkena dampak negatif perubahan iklim," katanya.
DESTRIANITA KUSUMASTUTI