TEMPO.CO, Samarinda - Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, tak akan memberikan kompensasi atas aset anggota eks Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) di Kecamatan, Samboja. Pemerintah daerah itu tak berani membayarkan kompensasi takut bermasalah hukum di kemudian hari.
"Dari telaahan kami, belum ada celah hukum yang bisa jadi rujukan untuk membayarkan kompensasi mengenai aset eks Gafatar di Samboja," kata juru bicara Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara, Davip Hariyanto, Selasa, 2 Februari 2016.
Berdasarkan data aset eks Gafatar asal Provinsi Sulawesi Selatan itu, tercatat ada lahan seluas 2 hektare milik mereka. Ada juga pohon tanam tumbuh di lahan kebun mereka setelah ditinggalkan. Mereka membeli untuk membangun permukiman, sedangkan ada 9 hektare lahan lain yang sudah mereka garap untuk lahan pertanian. Namun, statusnya lahan tersebut sewa dengan warga sekitar.
Tercatat warga yang bermukim secara eksklusif di Samboja sebanyak 232 orang, termasuk anak-anak dan orang dewasa. Mereka secara keseluruhan sudah dipulangkan ke Sulawesi Selatan dengan ongkos yang dibebankan ke Pemerintah Kabupaten Kutai senilai Rp 500 juta.
Davip mengatakan Pemerintah Kabupaten Kutai sejauh ini tak bisa menjaga secara fisik aset eks Gafatar di lapangan. Menurut dia, yang bisa dilakukan adalah menjaga aset mereka secara administratif. Intinya, pemerintah kabupaten hanya akan menjaga dengan melibatkan perangkat kecamatan dan kelurahan atas aset yang secara yuridis milik warga eks Gafatar agar tidak diserobot pihak lain.
"Yang bisa kami lakukan menjaga secara administratif, takutnya ada penguasaan tanah dan bangunan dengan dibuatkan surat baru oleh orang lain yang tidak berhak," katanya.
Selain di Samboja, ada lokasi lain yang diidentifikasi juga terdapat permukiman eks Gafatar di Kecamatan Kota Bangun, Kecamatan Tenggarong, Kecamatan Tenggarong Seberang, dan Kecamatan Sebulu. Pola hidup mereka sama dengan anggota eks Gafatar lainnya, hidup eksklusif dengan bercocok tanam. Data sementara tercatat 350-an warga eks Gafatar di empat kecamatan.
Mereka masih berada di lokasi masing-masing hingga kini. Pemerintah Kutai, kata David, baru akan membahas nasib mereka dalam rapat yang digelar, Rabu, 3 Februari 2016.
FIRMAN HIDAYAT