TEMPO.CO, Semarang - Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) mengecam semakin banyaknya kasus pembungkaman yang dialami pers mahasiswa di berbagai perguruan tinggi di Indonesia. “Dari hari ke hari, teman-teman mahasiswa terutama di pers mahasiswa mengalami pembungkaman dari pihak dekanat maupun rektorat,” kata Sekjen PPMI Nasional, Abdus Somad dalam dies natalis PPMI ke-23 di Semarang. Kegiatan ini berlangsung sejak 29 Januari 2016 hingga Selasa 2 Februari 2016.
Somad menegaskan akan melawan segala bentuk pembungkaman yang dilakukan dekanat maupun rektorat di kampus. Somad menyatakan dies natalis tahun ini mengusung tema “Pers Mahasiswa Bangkit melawan pembungkaman. Tujuannya untuk merespon birokrasi kampus dan aparatus negara yang sewenang-wenang memperlakukan pegiat pers mahasiswa. “Pers mahasiswa harus bisa melawan hegemoni ini. Lewat cara menulis dan memperjuangkan apa yang perlu diperjuangkan,” katanya.
Saat ini, kata Somad, banyak pers mahasiswa yang mengalami pembredelan dan pelarangan diskusi akademik/ilmiah dan kegiatan mahasiswa. Sebab, pers mahasiswa banyak yang mengkritik masalah-masalah sosial, seperti penggunaan dana di kampus hingga tema-tema yang sensitif seperti peristiwa pembantaian tahun 1965 dan tema lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT).
Jenis pembungkaman itu antara lain intimidasi, diskriminasi reporter, pelarangan pemutaran film hingga pembredelan produks pers mahasiswa. Somad menyebut beberapa kasus kebebasan berekspresi yang dialami pers mahasiswa terjadi di berbagai daerah. Tak hanya kampus swasta tapi juga kampus negeri. Somad mencontohkan lembaga pers mahasiswa Ekspresi di Universitas Negeri Yogyakarta pernah dilarang beredar di kalangan masiswa.
Kasus kebebasan berekspresi pers mahasiswa lainnya adalah terjadi di Natas Sanata Dharma, LPMS Ideas Universitas Negeri Jember LPM Rhetor UIN, LPM Dianns UB, Aksara UTM Madura, Linier UII, Lentera UKSW, dan Aktualita Unmuh Jember.
Somad menyatakan beberapa pengelola kampus saat ini cenderung menerapkan praktek sensor kepada pers mahasiswa. Misalnya, sebelum karya pers mahasiswa dicetak dan diedarkan maka harus disetorkan ke petinggi kampus untuk dilihat dan diedit. Bahkan, ada beberapa pers mahasiswa yang batal dicetak gara-gara tak disetujui dekanat maupun rektorat.
Somad menegaskan produk yang dihasilkan pers mahasiswa adalah produk jurnalistik yang bisa dipertanggungjawabkan. Bahkan, kata dia, karya aktivis pers mahasiswa juga sering dijadikan rujukan atau referensi dalam pembuatan karya ilmiah seperti skripsi maupun riset. Dalam dies natalis dilakukan berbagai kegiatan, seperti diskusi, pameran produk pers mahasiswa, penandatanganan sikap melawan pembungkaman hingga pelatihan.
Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Suwarjono mendorong agar pers mahasiswa dilindungi undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang pers. Dewan Pers juga harus memberikan perlindungan kepada pers mahasiswa yang membuat karya jurnalistik. “Apalagi, akhir-akhir ini Dewan Pers juga sering memberikan pelatihan-pelatihan ke pers mahasiswa,” kata Suwarjono dalam diskusi dies natalis PPMI.
Suwarjono menyatakan salah satu momok kebebasan berekspresi saat ini adalah undang-undang informasi dan transaksi elektronik. “Kami sudah cukup lama meminta agar pasal pencemaran nama baik di UU ITE dihapus,” kata Suwarjono.
Saat ini, kata dia, diupayakan agar pasal pencemaran nama baik di UU ITE dihapus melalui revisi undang-undang. Apalagi, lahirnya undang-undang ITE sebenarnya untuk transaksi dagang dan bisnis di media online yang rawan dengan penipuan. Tapi, kata Suwarjono, UU ITE justru berimplikasi luas mengancam kebebasan berekpresi.
Suwarjono juga menilai ada kecenderungan yang dipersoalkan hukum saat ini bukan perusahaan medianya. Sebab, perusahaan media dan jurnalis sudah mendapatkan perlindungan melalui undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang pers. “Saat ini, yang dijerat hukum justru narasumber yang diwawancarai jurnalis,” kata Suwarjono.
ROFIUDDIN