TEMPO.CO, Jakarta -Direktur Setara Institute Hendardi menganggap pemeriksaan mantan Ketua Umum Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) Mahful Muis Tumanurung sebagai tindakan keliru dari Jaksa Agung. “Keyakinan bukanlah domain hukum,” kata Hendardi kepada Tempo, Ahad, 31 Januari 2016.
Menurut Hendardi, keyakinan tidak bisa diadili. Negara tidak pula berwenang mengadili sebuah keyakinan. Jaksa Agung, kata dia, mesti belajar dari kriminalisasi oleh negara terhadap keyakinan warga negara. “Kasus Lia Eden misalnya, berapa kali pun dia dipenjara, kalau bukan atas kemauan sendiri, tidak akan berubah juga keyakinannya,” dia menegaskan.
Hendardi menjelaskan mengadili pemikiran dan keyakinan orang merupakan perbuatan sia-sia yang melanggar HAM. “Negara, khususnya Polri dan Kementerian Dalam Negeri, sebaiknya berfokus pada perlindungan warga negara, karena apapun keyakinannya, mereka adalah warga negara yang mempunyai hak sama,” kata Hendardi.
Ketua Umum Gafatar Mahful Muis Tumanurung, pengurus, dan pengikutnya, dikonfirmasi sejumlah hal di Kejaksaan Agung. Mereka didampingi Ketua Bidang Pekerja Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Alvon Kurnia Palma; dan perwakilan dari Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika, Sudarto.
Para pengikut Gafatar diwawancarai dan direkam serta dicatat sebagai bahan untuk tim Badan Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan dan Keagamaan. "Tergantung kebutuhan saja. Yang jelas, setelah ada fatwa MUI, akan kami undang lagi," kata dia. Mereka dikonfirmasi mengenai rencana pendirian negara, dugaan penyimpangan agama, dan dugaan menggabungkan tiga agama dalam satu ajaran, serta dugaan Gafatar sebagai kelanjutan Al Qiyadah Al Islamiyah dan Komunitas Milah Abraham.
Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia Jimly Asshidiqie mengatakan pimpinan organisasi Gerakan Fajar Nusantara, sudah bisa diseret ke ranah hukum. Setidaknya, ada dua dugaan pelanggaran hukum yang bisa disangkakan kepada mereka.
Pertama adalah rencana membentuk negara baru. "Itu kan sudah bisa dijerat dengan hukum, instrumen hukumnya ada. Tak usah menunggu revisi Undang-undang terorisme," kata Jimly, usai menghadiri acara pelantikan pengurus Majelis Sinergi Kalam ICMI, di gedung KPU, Jakarta, Sabtu, 30 Januari 2016.
Perbuatan melanggar hukum laiannya, kata Jimly, adalah Gafatar yang membenarkan anggotanya melanggar hukum. Gafatar juga dianggap menjadi sebab pelanggaran hukum itu sendiri. Akibat dari ulah mereka, banyak masyarakat kehilangan anggota keluarga. Padahal, tak sedikit dari para anggota Gafatar memililki tanggung jawab terhadap anak istri.
Menganggap sudah ada potensi pelanggaran hukum, menurut Jimly, kebenaran tentang dugaan tersebut harus dibuktikan di pengadilan. "Ya belum tentu terbukti, tapi biar pengadilan yang memutuskan," kata dia. Kalaupun suatu saat pengadilan menyatakan tak bersalah, semua pihak harus menghormatinya.
Selama ini, Jimly menganggap, banyak orang salah memahami proses peradilan. Mereka hanya menganggap peradilan sebagai menang kalah. Padahal dalam proses itu ada sebuah unsur pendidikan bagi publik. Artinya, jika tak terbukti ada pelanggaran hukum, masyarakat harus belajar memahami bahwa tak selamanya pemerintah harus menang dalam proses peradilan.
Selain itu, proses peradilan berfungsi sebagai kanalisasi kemarahan publik. Amarah publik tentang Gafatar bisa diredam dengan adanya pengadilan. "Makanya penegak hukum harus segera bertindak, jangan takut menang kalah."
ARIEF HIDAYAT