TEMPO.CO, Yogyakarta - Masjid Jogokariyan, salah satu tempat ibadah umat muslim ternama di Kota Yogyakarta, merayakan hari jadinya ke 50, Minggu (31/1).
Masjid yang berada di kampung Jogokariyan, Kecamatan Mantrijeron itu, dalam usia matangnya, menyatakan diri menjadi salah satu pusat peradaban Islam yang tak meninggalkan tradisi lokal, serta konsisten memerangi segala bentuk tumbuhnya paham radikalisme yang makin marak belakangan ini. "Militansi umat kami arahkan untuk menolong sesama yang berkekurangan agar jangan terjebak pada arah radikal," ujar Ketua Dewan Syuro Masjid Jogokariyan, HM. Jazir, kepada Tempo, di sela acara yang dihadiri Kementerian Agama, Bupati Kulonprogo dan Walikota Yogyakarta.
Untuk mewadahi ekspresi militansi jamaahnya, pengurus Masjid Jogokariyan memperbanyak program kegiatan. Khususnya bidang pendidikan dan kesehatan. Dalam ulang tahunnya itu, pengurus masjid turut meresmikan pusat studi kajian Islam. "Pusat kajian ini untuk menghidupkan tradisi Jawa yang juga berbasis nilai keislaman yang baik," ujarnya. Di antaranya, dialog keberagaman, kepekaaan sosial, dan program kemanusiaan.
Jazir yang juga Ketua Bidang Dakwah Majelis Ulama Indonesia Yogyakarta itu, menambahkan masjid di era modern seharusnya memiliki peran menjaga lestarinya kearifan lokal seperti yang dilakukan rasullulah Nabi Muhammad.
Dia mencontohkan, di masa lalu, para pengurus Masjid Jogokariyan, saat hari pasaran Pahing, penanggalan Jawa, senantiasa ramai menyediakan air kendi di pinggir jalan. Sebab saat hari Pahing, para pedagang sapi asal Imogiri Bantul, akan berjalan kaki melintas, menjual ternak sapinya ke Pasar Pakuncen."Sekarang bentuk kepedulian itu kami wujudkan dengan membangun instalasi air minum di daerah-daerah terkering seperti Kulon Progo dan Temanggung, Jawa Tengah," ujar Jazir.
Pada saat ulang tahun ke 50 nya itu, Masjid Jogokariyan menandatangani nota kerjasama dengan lembaga donatur zakat asal Jawa Timur Al Falah. Jazir menambahkan, kearifan lokal yang ditumbuhkan di Jogokariyan, mengadopsi tradisi lolak seperti lumbung masjid.
Sebuah program semacam jimpitan (pungutan ronda) dengan menghimpun zakat beras sekedarnya dari warga), disumbangkan pada warga miskin agar tak kelaparan."Lebih baik memiliki masjid yang sederhana, namun bisa berbuat bagi banyak jamaah. Daripada masjid megah tapi ditinggalkan jamaahnya karena tak berbuat apa-apa," ujarnya.
Menurut Jazir, dia tak pernah membiarkan pengurus masjid meminta-minta sumbangan warga sekitar. "Masjid jangan sampai menggantungkan hidup dari masyarakat, justru sebaliknya agar tak membebani," ujarnya.
Sebagai salah satu penopang kemandirian geraknya, Masjid Jogokariyan mengembangkan penginapan yang mengadopsi potensi wisata Yogya yang selalu ramai turis saat liburan. "Pemasukan dari penginapan ini, disalurkan untuk berbagai keperluan seperti beasiswa warga tak mampu, bahkan sampai mereka bisa kuliah," kata dia.
Bupati Kulonprogo Hasto Wardoyo mengapresiasi gerakan kampanye kemanusiaan dalam bentuk nyata yang digencarkan Masjid Jogokariyan. Dia mengakui jika daerah terpencil seperti Kulonprogo, di Kecamatan Samigaluh dan Kokap, saat musim kering bahkan hujan, selalu kekurangan air bersih karena di dataran tinggi tandus."Kalau semua masjid seperti Jogokariyan mungkin pemerintah daerah nggak perlu kerja lagi," ujarnya sambil bercanda.
Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam Kementerian Agama, Machasin, yang mewakili Menteri Agama Lukman Hakim Saefudin, menuturkan untuk menekan berkembangnya paham radikal pengurus masjid merupakan garda terdepan. "Kami juga melakukan registrasi pada 750 masjid di Indonesia dan rumah ibadah lain untuk mendeteksi dini perkembangan paham radikal itu," ujarnya.
Registrasi rumah ibadah ini untuk masjid sudah mencapai 30 persen dan gereja katolik 50 persen dari total jumlah 132 geereja. "Tujuan utamanya bukan monitoring paham radikal. Tapi membantu kebutuhan," ujarnya. PRIBADI WICAKSONO