TEMPO.CO, Jakarta - Meski bukan fenomena baru, isu lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) tiba-tiba memanas belakangan ini, bahkan di kalangan kampus. Pengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Aprinus Salam, mengatakan telah terjadi perubahan fungsi fenomena LGBT saat ini, yakni menjadi legitimasi kekuasaan. “Sekarang ada politisasi, bukan sekadar membicarakan perilaku seksual berbeda, tapi lebih bersifat mempengaruhi kekuasaan,” ujarnya, kemarin.
Dulu, fenomena itu muncul sebagai proses perubahan yang natural menjadi kultural, seperti keberadaan warok dan gemblaknya. Kini LGBT telah mengalami politisasi fungsi, yang bertujuan mempengaruhi kekuasaan dengan memanfaatkan orang yang terlibat dalam lingkaran LGBT. “Tapi tak dimungkiri, tekanan psikologis juga membuat mereka tak bisa berbuat apa-apa dan kemungkinan dipolitisasi untuk kepentingan tertentu,” kata Aprinus.
Menurut seniman tari Didik Nini Thowok, fenomena LGBT sudah lama ada dalam tradisi budaya Tanah Air. Sulawesi, misalnya, ada pendeta waria yang disebut bissu. Pendeta ini malah dikenal sebagai waria sakti yang bertugas memimpin upacara adat.
Di satu kerajaan di Jawa pada abad ke-18, sang raja laki-laki memiliki dua istri. Selain istri perempuan, raja punya istri laki-laki. “Pertimbangan memiliki istri laki-laki adalah untuk menjaga harta dan kekuasaan tak jatuh ke tangan orang lain,” ujarnya. Mungkin ada kekhawatiran, jika sang istri perempuan punya anak, hal itu juga dapat merebut kekuasaan atau harta sang raja.
Tradisi warok dan gemblak di Ponorogo juga menjadi contoh fenomena LGBT. “Warok dilarang menjalani hubungan seksual dengan lawan jenis untuk menjaga kesaktiannya sehingga mereka memiliki gemblak yang berjenis kelamin laki-laki,” ujar Didik.
Di Banyumas, Jawa Tengah, ada tradisi tari Lengger. Semula, tarian itu dimainkan laki-laki. Namun dalam perkembangannya, perempuan pun ikut menarikannya. “Padahal perempuan biasanya menjadi penari Ronggeng,” katanya. Dia menjelaskan, Lengger berasal dari “dikira leng ternyata ngger” atau disangka lubang ternyata jengger, yang menunjukkan simbol kelamin perempuan dan laki-laki.
Menurut Didik, jika masyarakat mau jujur, isu LGBT tak perlu dibesar-besarkan karena keberadaannya menyatu dengan masyarakat. “Tidak melulu di kampus, tapi juga di segala aspek kehidupan,” ujar Didik.
SWITZY SABANDAR