TEMPO.CO, Makassar - Jalil, 28 tahun, alumnus Teknik Sipil Universitas Hasanuddin, akhirnya pulang ke Makassar, Rabu, 27 Januari 2016. Selama lima bulan, Jalil yang merupakan eks pengikut Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) mengklaim sukses membangun permukiman dan pertanian di Desa Karya Jaya, Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Keahliannya sebagai arsitek diterapkan membangun daerah tersebut.
Selama lima bulan di Samboja, Jalil bersama 231 eks Gafatar Sulawesi Selatan telah menguasai lahan seluas 10 hektare. Perinciannya, 1 hektare diperuntukkan permukiman dan sisanya diperuntukkan pertanian. "Di sana kami membangun, dan itu berjalan baik. Kami tanam sayur-sayuran, jagung, dan singkong. Hasilnya kami nikmati sendiri dan biasa membagikannya ke warga setempat," kata Jalil, di Pelabuhan Soekarno-Hatta, Makassar, Rabu, 27 Januari.
Rombongan eks pengikut Gafatar dari Samboja berkisar 232 orang dari 66 kepala keluarga. Mereka terdiri atas 137 laki-laki dan 95 perempuan. Perinciannya, 89 laki-laki dewasa, 48 anak laki-laki, 65 perempuan dewasa, dan 30 anak perempuan. Mereka diantar oleh pejabat pemerintah Kalimantan Timur dan Kutai Kartanegara. Rombongan eks pengikut Gafatar lantas diserahkan ke pemerintah Sulawesi Selatan untuk dilakukan pembinaan.
Jalil yang merupakan koordinator lapangan eks Gafatar yang bermukim di Samboja, mengaku tertarik ke Kalimantan lantaran ingin mendukung program kedaulatan pangan. Itu adalah program Gafatar yang belakangan membubarkan diri pada Agustus 2015. Jalil yang mendesain permukiman dan pertanian warga pendatang di Samboja, menyatakan tak ada unsur paksaan untuk ikut program kedaulatan pangan. "Semuanya sukarela," ujarnya.
Lebih jauh, Jalil menerangkan pemberitaan tentang aktivitas dan ajaran sesat Gafatar tidak betul dan malah menyesatkan. Ia membantah kabar bahwa pengikut Gafatar itu dilarang menunaikan ibadah salat dan puasa. Jalil menegaskan Gafatar bukan organisasi agama. Hal tersebut dibuktikan dengan berbaurnya latar belakang agama dan profesi para anggotanya yang belakangan terpencar setelah bubar.
Jalil juga membantah pihaknya menentang pemerintahan ataupun negara. Malah, program kedaulatan pangan dijalankan guna mengatasi kemungkinan krisis pangan dalam dua tahun mendatang. Jalil menambahkan pihaknya juga tak pernah mempersulit pemerintah Kalimantan Timur. Sesaat setelah pembakaran permukiman Gafatar di Kalimantan Barat, Jalil mengaku pihaknya kooperatif terhadap keputusan pemerintah soal pemulangan mereka.
Yang disesalkan Jalil adalah stigma negatif masyarakat mengenai eks pengikut Gafatar dan programnya. Saat Gafatar getol melakukan bakti sosial dan program positif lainnya, hanya 1-2 media yang mempublikasikannya. Belakangan, tatkala muncul kabar bahwa Gafatar adalah ormas sesat dan terlarang, barulah media dan publik meributkannya.
Hal lain yang disayangkan eks Gafatar, Jalil mengaku pihaknya tidak sempat panen besar atas hasil bumi yang telah ditanamnya. Semua asetnya pun tertinggal di sana. Rencananya, mereka bakal panen besar pada bulan ketujuh terhitung Agustus lalu. Kerja keras mereka pun sirna. Meski begitu, Jalil mengaku dapat memahami bahwa mereka harus dipulangkan guna mengantisipasi aksi anarkis di Kalimantan Barat.
Tidak seperti Jalil, sejumlah eks Gafatar lainnya bersikap tertutup. Mereka memilih bungkam saat ditanya mengenai aktivitasnya selama di Kalimantan. Kepala Dinas Sosial Sulawesi Selatan Ilham Andi Gazaling menyatakan ratusan eks Gafatar itu akan diserahkan ke pemerintah kabupaten/kota asalnya untuk dilakukan pendataan dan pembinaan. Ilham mengimbau masyarakat agar dapat menerima kembali eks Gafatar itu untuk dapat kembali beraktivitas seperti sediakala.
TRI YARI KURNIAWAN