TEMPO.CO, Jakarta - Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Masinton Pasaribu, menganggap revisi Undang-Undang Terorisme tidak perlu terlalu mendasar dan fokus pada beberapa hal saja. Jika memang ada revisi, Masinton berpesan, jangan sampai revisi UU Terorisme ini nanti jadi bumerang dan justru menyerang masyarakat.
"Jangan sampai (revisi) malah membatasi ruang gerak masyarakat untuk menyampaikan pendapat, gagasan, pikiran," kata Masinton saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Rabu, 20 Januari 2016. Menurut dia, revisi UU Terorisme sebaiknya hanya yang terkait dengan aspek pencegahan terorisme.
Anggota Komisi Hukum, HAM, dan Keamanan DPR ini, menganggap tindakan penahanan terduga terorisme bisa dilakukan jika memang ada indikasi kuat yang bersangkutan menyebarkan ajaran dan melakukan aksi-aksi kekerasan atas nama ideologinya. "Maka di tahap itu perlu dilakukan pemanggilan, jika ada indikasi-indikasi," katanya.
Masinton berpendapat, UU Terorisme yang berlaku saat ini, belum mencakup hal itu. Saat ini, tindakan penahanan, baru bisa dilakukan jika ada aksi teror yang terjadi. Karenanya, revisi ia anggap diperlukan, tapi dengan pengawasan yang ketat.
"Kalau pun direvisi itu terbatas. Hanya dalam rangka tindakan preventif itu," katanya.
Rencana revisi Undang-Undang Terorisme mencuat setelah aksi teror terjadi di Jalan M.H. Thamrin pada 14 Januari 2016. Kapolri Jenderal Badrodin Haiti mendesak revisi dilakukan karena UU selama ini cukup banyak menghambat langkah kepolisian dalam mencegah aksi teror.
EGI ADYATAMA