TEMPO.CO, Pontianak - Sejumlah warga Kalimantan Barat bekas pengikut Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) menolak dipulangkan ke daerah asal karena tak memiliki harta tersisa. Mereka sudah menjual habis hartanya untuk modal membeli tanah sebagai lahan garapan di tempat tinggalnya yang sekarang. “Kami sudah tidak punya aset lagi di tempat asal. Sudah banyak yang menjual aset untuk modal hidup di sini,” kata Aji Anggriono, warga asal Bantul.
Mereka ingin pemerintah daerah mempunyai jalan tengah agar mereka bisa menetap. Mereka ingin tetap bercocok tanam, mengingat Kalimantan Barat mempunyai potensi lahan pertanian yang belum maksimal tergarap. Di daerah asalnya, mereka juga ditolak lantaran stigma tergabung dalam aliran sesat.
Aji mengatakan, mereka hanya bercocok tanam di daerah baru, bukan menyebarkan agama kepercayaan seperti yang dikhawatirkan masyarakat setempat. Aji mendiami kawasan permukiman di Desa Pasiran, Kabupaten Mempawah, bersama sekitar 100 kepala keluarga. Mereka membeli lahan sebelas hektar di tepi Sungai Mempawah.
Aji yang merupakan sarjana akutansi mengatakan, warga sebenarnya sudah mulai terbantu dengan kehadiran mereka. Mereka telah membuat sistem pengolahan air bersih. “Namun, gelombang penolakan muncul setelah banyak pemberitaan di media,” katanya.
Areal pertanian yang mereka punyai, dimiliki oleh beberapa orang warga. Mereka membeli lahan secara patungan. Lahan tersebut ditanami padi, jagung dan tanaman sayuran. Bahkan mereka juga menggarap sekitar 3 hektar lahan tidur, bekerja sama dengan dinas pertanian setempat. “Sebenarnya ini merupakan program dinas pertanian yang sudah lama. Mereka mensubsidi pupuk dan meminjamkan lahan, serta membimbing warga yang mau memanfaatkan lahan tidur,” katanya.
Aji mencemaskan aset-aset mereka yang masih tertinggal di daerah permukiman. Jika pemulangan merupakan jalan terakhir, mereka ingin aset tersebut dapat dikembalikan. Opsi lain yang diinginkan warga adalah pemindahan ke daerah lain, namun masih tetap di Kalimantan Barat. Kabupaten Melawi menjadi tujuan yang paling memungkinkan jika dipindahkan.
Di daerah tersebut, kata dia, terdapat lahan garapan pertanian seluas 600 hektar. Lahan sudah memproduksi hasil pertanian. Warga eks Gafatar di kawasan tersebut juga mau menerima warga eks Gafatar di Kabupaten Mempawah.
Syukri, warga eks Gafatar di daerah Moton Panjang, yang dibakar massa mengaku pasrah atas perlakuan warga lain kepadanya. “Saya belum tahu mau ke mana, belum ada gambaran. Mungkin harus menunggu keputusan dengan teman-teman yang lain,” ujarnya.
Syukri mengaku bergabung dan memilih meninggalkan tempat asal di Surabaya, untuk mencari hidup baru. Dia bergabung Gafatar sejak organisasi massa tersebut terbentuk tahun 2011. Organisasi massa tersebut bukan organisasi berbasis agama. Anggotanya di edukasi untuk dapat melakukan kegiatan kemanusian. Setelah ditolak, dan bubar, anggotanya sulit tinggal di daerah asal.
“Awalnya kami ingin memulai hidup baru,” kata Syukri. Dia tidak masalah jika dipulangkan ke daerah asal. Artinya, dia akan kembali tinggal di rumah mertua dan bekerja serabutan. Awalnya, mertua pun melarang itikad mereka sekeluarga untuk pindah ke Kalimantan. Namun Syukri dan keluarga bertekad hidup bersama-sama orang senasib.
Tiyem, seorang nenek asal Surabaya berusia 70 tahun, mengigil kedinginan. Dia datang dengan anak, menantu dan cucunya. Sehari-hari hanya mengasuh cucu, sementara orang tua mereka berkerja di ladang. Saat di wawancara, anaknya ketus melarang Tiyem berkomentar lebih banyak. “Tanya sama yang lain saja, kami tunggu kesepakatan yang lain,” ujar anak perempuan Tiyem.
Lain halnya dengan Parti (37), dia baru kemarin lusa sampai di Mempawah. Bersama suami, tiga anak, ibu serta adiknya, mereka mengepak kembali koper-koper mereka ke dalam bus Pemda Mempawah. Anak perempuannya dua tahun setengah, digendong. Masih menggunakan pakaian yang lembab. Kepalanya ditutupi topi, menutupi seluruh wajahnya. “Dia takut sama yang bakar-bakar tadi. Jadi tak mau dibuka,” ujar Parti.
ASEANTY PAHLEVI